Page 33 - jogja_Ebook 1 small
P. 33
Toponim Kota Yogyakarta 15
pembukaan jalur kereta api Yogyakarta-Semarang lewat Surakarta tahun 1873 yang
memicu ekspansi usaha perkebunan dan masuknya tenaga kerja yang makin dibutuhkan
di Yogyakarta. Kemudian juga terjadi penurunan tingkat pertumbuhan mulai dari tahun
1890. Pada 1890-1905 sebesar 43,3% dan periode 1905-1930 sebesar 39,3%. Selisih
antara keduanya cukup tinggi, sebab periode yang disebut pertama hanya berjangka 15
tahun, sementara yang kedua berjangka waktu 25 tahun.
Penelitian Nur Aini Setyawati (2011) menunjukkan angka kenaikan penduduk dari tahun
1900-1905 sebanyak 34.378 jiwa, dari tahun 1900-1917 sekitar 289.838 jiwa, sedangkan
dari tahun 1920-1930 naik 276.212 jiwa. Jumlah kenaikan secara keseluruhan penduduk
Yogya sejak tahun 1900-1930 sebesar 474.700 jiwa. Dalam perkembangan selanjutnya,
pertambahan warga Yogyakarta tahun 1920-1961 adalah 2,7 %.
Dari segi pekerjaan dan pemukiman di Yogya juga mengalami pertumbuhan dengan
masuknya orang-orang asing. Kaum Eropa dan bangsa lainnya (non pribumi) umumnya
berkecimpung di bidang keamanan, perkebunan, birokrasi pemerintah dan leveransir
kebutuhan hidup komunitas Eropa di sekitar pemukiman masyarakat Eropa (Loji Besar). DRAFT
Mereka bermukim di area Loji Kecil dan Loji Besar, Kotabaru, dan Sagan. Sedangkan
kelompok Arab dan China masuk kelompok vremdeoosterlingen (Timur Asing). Mereka
lumrah bergiat di sektor perekonomian seperti pedagang, pemungut cukai pasar, rumah
gadai, rumah candu, serta perantara orang Eropa memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jika kelompok Arab menetap Sayidan, maka kaum Tionghoa menetap di Pecinan
memanjang dari alun-alun utara ke utara hingga Tugu. Orang Tionghoa mendiami
perkampungan di belakangnya, yaitu Pajeksan, Gandekan, Beskalan, dan sisi timur
jalan, yaitu Kampung Ketandan. Mereka sebagai pedagang suka tinggal di bibir jalan
besar dan dekat pasar. Di sektor ekonomi, mereka memperoleh perlakuan istimewa
dibanding warga pribumi, misalnya memonopoli komoditas. Ketidakadilan Belanda
memperlakukan bakul pribumi dan memberi peluang kepada kaum Tionghoa memicu
kecemburuan sosial pada masyarakat pribumi.
Lapisan sosial penduduk Yogyakarta terdiri atas raja dan para kawulanya. Stratifikasi
sosial atau pelapisan masyarakat di Yogyakata berkaitan dengan posisi keraton. Keraton
merupakan lapisan tertinggi dengan kedudukan sultan sebagai pemimpin tertinggi.
Posisi kedua yaitu kerabat keraton atau sentana dalem. Disusul lapis ketiga, yakni abdi
dalem priyayi yang melayani kerajaan. Posisi terakhir ditempati kaum wong cilik atau