Page 25 - Bahan Ajar Ekonomi Kreatif
P. 25
Yogyakarta dan meminjam 20 juta rupiah sebagai modal belajar membatik di sana. Hanya 2 hari
kemudian dia kembali ke Padang. Tidak hanya merasa tidak enak, dia juga tidak bisa meninggalkan
bengkel bordirnya, karena ada 20 pekerja yang tinggal di rumahnya. Ibu Hj, Wirda Hanim, meminta
Dewan Batik Yogyakarta untuk mengirim guru tenun ke Padang, yang dia daftarkan untuk 3 bulan.
Namun sebelum itu, Ibu Hj. Wirda Hanim menitipkan sampel Batik Tanah Liek dengan harapan
dapat dibuatkan motif dan warna setelah pengambilan sampel. Setelah sampai di Padang, para guru
dan pemuda yang didatangkan dari Yogyakarta masih belum mampu membuat batik Tanah Liek
sesuai contoh yang diberikan. Bahkan setelah dua bulan bekerja bersamanya di Padang, belum ada
kain yang bisa menandingi warna Batik Tanah Liek. Ini tidak menyurutkan tekadnya, berkat
pengeluarannya yang terus-menerus dalam jumlah besar untuk kain sutra, ramuan, dan penjilidan.
Tepat satu minggu sebelum berakhirnya kontrak magang di Yogyakarta, Ibu Hj. Wirda Hanim ingat
pernah belajar mewarnai dekorasi kue pada kursus kue pengantin dan ulang tahun di Jakarta. Dia
bereksperimen dengan pewarna kimia untuk batik. Bagaimana menemukan warna yang cocok
dengan Batik Tanah Liek dengan warna tanah.
Dari 10 helai kain per 2meter panjangnya, hanya
2 helai yang memiliki warna yang mirip dengan
Batik Tanah Liek. Namun, Ibu Hj. Wirda Hanim
terus bereksperimen dengan mempekerjakan
pekerja yang berspesialisasi dalam batik. Sejak
itu, ia membuat batik tanah liat dengan bahan
kimia. Sedemikian rupa sehingga nama merek
produk yang dibuat oleh Batik Tanah Liek saat
itu adalah "Citra Monalisa". Meski begitu, tie dye
vintage buatan Tanah Liek cukup berbeda dengan
dasi buatannya. Suatu hari, dia pulang dan
bertanya siapa ibunya. “Mengapa dasi ini disebut
Batik Tanah Liek?” Ibu menjawab bahwa
pewarna Tanah Liek pada dasarnya adalah pewarna tanah dan polanya diwarnai dengan tumbuhan.
Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaannya: “Tanaman apa yang bisa dipetik?” lanjut ibu
menjawab yaitu gambir, rambutan, pinang dan sebagainya. Berdasarkan informasi tersebut, Ibu Hj.
Wirda Hanim mencoba mencari tahu produksi dan daya tahannya.
Akhirnya setelah 10 tahun kerja keras, akhirnya ia memperoleh Batik Tanah Liek sesuai dengan
pola yang ada, dan mengajukan hak paten “Batik Tanah Liek”. Dia mengembalikan dana yang
sebelumnya dipinjam dari suaminya pada tahun 1997 berkat Hibah Pertamina, bantuan pinjaman
pertama yang dia terima. Sampai saat ini Ibu Hj. Wirda Hanim masih memelihara Batik Tanah Liek
di kediaman dan showroomnya di Jalan Sawahan Dalam No. 33 Padang, Sumatera Barat. Beberapa
penghargaan dari pemerintah dan swasta juga pernah diraihnya seperti Upakarti Award (2006)
untuk pelestarian produk seni dan budaya tradisional Indonesia dan MARKPLUS Marketer of the
Year Award 2014.
Sumber :
Batik Tanah Liek. 2019. Suksesnya bu Hj. Wirda Hanim saat ini diawali oleh sebuah cerita dalam perjalanan panjang dalam Sejarah
Batik Tanah Like. https://batiktanahliek.co.id/sejarah-batik-tanah-liek/ (Diakses 15 Okteober 2022)
Sumber : https://youtu.be/8VPQYB8uJ94