Page 233 - Kelas VIII Islam BS press
P. 233

Dengan  sigap  Mubarok  segera  memetik  buah  melon  yang  diminta,
                          kemudian diberikan kepada majikannya.
                            Ketika buah tersebut dimakan sang majikan, ternyata rasanya tidak manis
                          sama sekali. Majikan Mubarok berkata, “Wahai Mubarok! Buah ini tidak ada
                          manisnya sama sekali.  Berikan saya buah yang manis!” pinta sang majikan
                          lagi.
                            Untuk kedua kalinya, buah yang diberikan Mubarok masih belum terasa
                          manis. Sang majikan terheran-heran, sudah sekian lama ia mempekerjakan
                          Mubarok, tetapi mengapa si penjaga kebun ini tidak mampu membedakan
                          antara buah yang masih muda dan yang sudah masak? Ah, mungkin dia lupa,
                          pikir  sang  majikan.  Dimintanya  Mubarok  untuk  memetikkan  kembali  buah
                          yang manis. Hasilnya sama saja, buah ketiga masih terasa tawar.
                            Rasa  penasaran  timbul  dari  sang  majikan.  Dipanggillah  Mubarok,
                          “Bukankah kau sudah lama bekerja di sini? Mengapa kamu tidak tahu buah
                          mana yang sudah manis?” tanya sang majikan.
                            Mubarok menjawab, “Maaf Tuan, saya tidak tahu bagaimana rasa buah-
                          buahan yang tumbuh di kebun ini karena saya tidak pernah mencicipinya!”
                            “Aneh,  bukankah  amat  mudah  bagimu  untuk  memetik  buah-buahan  di
                          sini, mengapa tidak ada satu pun yang kaumakan?” tanya majikannya.
                            “Pesan orang tua dan guru saya, tidak boleh makan sesuatu yang belum
                          jelas  kehalalannya  bagiku.  Buah-buahan  itu  bukan  milikku,  jadi  aku  tidak
                          berhak untuk memakannya sebelum memperoleh izin dari pemiliknya,” jelas
                          Mubarok.
                            Sang majikan terkejut dengan penjelasan penjaga kebunnya tersebut. Dia
                          tidak  lagi  memandang  Mubarok  sebatas  tukang  kebun,  melainkan  sebagai
                          seseorang yang jujur, hatinya jernih, pikirannya bersih, dan tinggi kedudukannya
                          di mata Allah Swt. Ia berpikir mungkin Mubarok bisa mencarikan jalan keluar
                          atas permasalahan rumit yang tengah dihadapinya.
                            Mulailah  sang majikan bercerita tentang lamaran kerabat dan  teman-
                          teman dekatnya kepada putrinya. Ia mengakhiri ceritanya dengan bertanya
                          kepada Mubarok, “Menurutmu, siapakah yang pantas menjadi pendamping
                          putriku?”
                            Mubarok menjawab, “Dulu orang-orang jahiliah mencarikan calon suami
                          untuk putri-putri mereka berdasarkan keturunan. Orang Yahudi menikahkan
                          putrinya berdasarkan harta, sementara orang Nasrani menikahkan putrinya
                          berdasarkan keelokan fisik semata. Namun, Rasulullah mengajarkan sebaik-
                          baiknya umat adalah yang menikahkan karena agama dan kepribadiannya.”
                            Sang  majikan  langsung  tersadar  akan  kekhilafannya.  Mubarok benar,
                          mengapa tidak terpikirkan untuk kembali pada al-Qur’ān dan Sunnah. Islamlah
                          solusi atas semua problematika umat manusia.
                            Ia  pulang dan memberitakan seluruh kejadian  tadi kepada istrinya.




                                                           Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 223
   228   229   230   231   232   233   234   235   236   237   238