Page 39 - Isi Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan
P. 39
Dra. Triana Wulandari, M.SI., dkk. (eds.)
kecurigaan dan kekuatiran sedikitpun akan dampaknya di belakang
hari, apabila harus berhadapan dengan tradisi dan budaya lokal
‘bangsa’-’bangsa’ Nusantara. Hal ini perlu dicermati oleh para
pemimpin bangsa kalau tidak ingin kehilangan Jati Diri bangsa.
Bukankah perempuan sumber peradaban? Perempuan Nusantara
perlu mendapat perlindungan dari penetrasi pernikiran ferninisrne
Barat yang cenderung melakukan konfrontasi frontal terhadap
budaya tradisi.
Konsep Kartini tentang perempuan sebagai sumber peradaban
dan pendidik pertama manusia periu ditetapkan sebagai kesepakatan
Nasional agar arus budaya globalisasi yang mendikotomikan laki-
laki dan perempuan tidak didukung untuk tegak di bumi Nusantara.
Sebaliknya, para perempuan pengemban peradaban bangsa perlu
dicerdaskan agar kekuatiran dan keprihatinan Kartini yang mewakili
semua perempuan di bumi Nusantara tentang degradasi moral bangsa
ini tidak terwujud di persada bumi Pertiwi.
Sejarah membuktikan, bahwa proyek kemanusiaan yang
diprakarsai oleh kelompok Haluan Etis dan direstui oleh Sri Ratu
Wilhelmina (1901) agar Pemerintah Hindia Belanda menjalankan
politik kolonial etis tidak berhasil, hingga berakhirnya Pemerintahan
itu pada tahun 1942. Situasi politik akibat Perang Dunia I
mengakibatkan Hindia Belanda diserahkan tanpa syarat kepada
penjajah baru, yaitu Bangsa Jepang. Rakyat Jawa secara politis belum
sempat menjadi sebuah “nasion”, sampai Proklamasi Kemerdekaan
1945, meskipun secara semangat sudah terjadi sebuah kebangkitan
nasional pada tahun 1928, ketika para pemuda menyatakan ikrarnya
dalam Soempah Pemoeda.
Sebelum berkecamuknya perang dunia, Hindia Belanda
merupakan sorga bagi warga Belanda bersama dengan para Petinggi
dan para Bangsawan menikmati kehidupan sejahtera di Tanah Jawa.
Kartini prihatin terhadap sikap dan perilaku para bangsawan Jawa
7 7