Page 157 - Cantik Itu Luka by Eka Kurniawan (z-lib.org)_Neat
P. 157

jam tangan, kopra, bahkan sandal jepit. Penduduk kota tak pernah
              mengeluhkan apa pun, sebab Sang Shodancho masih pahlawan mereka,
              dan barang-barang itu kadang tercecer di Halimunda dengan harga
              sangat murah sebelum dikirim ke banyak kota. Dan pejabat militer
              pun bungkam, bukan karena Mayor Sadrah sahabat belaka dari Sang
              Shodancho, tapi Sang Shodancho memotong separuh penghasilannya
              untuk para jenderal di ibukota. Semua orang segera menyadari, di luar
              bakat alaminya untuk berperang, ia punya naluri bisnis yang luar biasa.
                 ”Tak ada bedanya perang maupun bisnis,” kata Sang Shodancho
              membuka rahasia, ”Keduanya dikerjakan dengan sangat licik.”
                 Sebenarnya Sang Shodancho tak terlalu banyak terlibat dengan
              urusan bisnis itu, sebab semuanya telah ditangani dengan baik ketiga
              puluh dua prajuritnya. Ia menghabiskan waktu lebih dari sepuluh ta-
              hun nya hanya untuk tinggal di gubuk gerilya, memancing, meditasi, dan
              me melihara ajak. Bahkan ia menyuruh para prajuritnya untuk me mi liki
              rumah dan tinggal di kota, dan juga kawin, hanya saja secara bergantian
              mereka menemani Sang Shodancho di hutannya yang sunyi. Ketika para
              prajuritnya mulai kehilangan semua insting berperang, yang diawali
              membengkaknya tubuh mereka disebabkan konsumsi yang berlebihan,
              dan gaya hidup yang menyenangkan, Sang Shodancho masihlah seperti
              dulu juga. Tubuhnya masih kurus, dan kemampuan geraknya tak pernah
              merosot sedikit pun. Ia me maksakan dirinya untuk terus bekerja, bahkan
              termasuk menyiapkan makanan bagi para prajurit, meskipun ia makan
              paling sedikit. Ia tampak mulai menikmati pola hidupnya yang damai,
              hingga Mayor Sadrah memintanya keluar hutan untuk memberantas
              babi di lereng bukit Ma Iyang dan Ma Gedik.

              ”Aku tak tahu, apakah para prajurit masih bisa diajak berburu babi,”
              kata Tino Sidiq pada Sang Shodancho. ”Selama sepuluh tahun me reka
              hanya duduk di belakang kemudi truk.”
                 ”Tak apa, aku telah merekrut prajurit-prajurit baru yang siap tem-
              pur,” kata Sang Shodancho. Lalu ia bersiul begitu nyaring, dan sesaat
              kemudian ajak-ajak peliharaannya berdatangan, berwarna ke labu,
              tang kas, dan siap bertarung. Jumlahnya nyaris mencapai seratus ekor,
              semuanya berdesakan di bawah kakinya.

                                           150





        Cantik.indd   150                                                  1/19/12   2:33 PM
   152   153   154   155   156   157   158   159   160   161   162