Page 138 - EBOOK_Sejarah Islam di Nusantara
P. 138

ENAM

                                      MENCARI


                         GEREJA PENYEIMBANG

                                       1837 – 1889









                    Siang dan malam kami dimintai apa pun yang mereka lihat di sekitar kami;
                    ketika sadar tidak berhasil—karena tidaklah mungkin memenuhi permintaan
                    para pelamar yang tak tahu malu semacam itu—mereka mulai meminta buku,
                    yang dijanjikan untuk mereka ketika kami kembali ke kapal. Kami memberi
                    tahu mereka bahwa tidak ada hikayat atau syair yang bagus untuk diberikan, tak
                    ada apa-apa selain Injil dan Kitab Perjanjian. “Baiklah,” kata mereka, “berikan
                    kepada kami.”  (G. Tradescant Lay, Brunei, 1837)
                               1
                  ementara  negara  mendirikan  sekolah-sekolah  pelatihannya  untuk  para
               Scalon  pejabat  kolonial,  penulisan  catatan  perjalanan  dan  pengumpulan
               buku oleh para pendeta-ilmuwan terus berlanjut. Kebencian para pendeta-
               ilmuwan terhadap Islam terlalu kentara, bahkan ketika mereka menyampaikan
               sesuatu yang baru. Ini bisa diketahui dari laporan-laporan orang Amerika James
               T. Dickinson (1806–?) dan rekan Inggrisnya, sang Naturalis G. Tradescant
               Lay  (sekitar  1805–45),  yang  bepergian  bersama  dari  Malaka  ke  Sulawesi,
               Magindanao, dan Borneo pada 1837.  Kedua lelaki ini memetakan berbagai
                                               2
               peluang bagi Kristenisasi pada masa depan dan kemungkinan membagikan
               propaganda  cetakan  dalam  bahasa  Melayu  dan  Makassar.  Risalah-risalah
               mereka tampaknya diterima dengan baik oleh orang-orang Brunei yang saat
               itu masih merdeka, meski hanya sebagai pengganti “hikayat” yang tampaknya
               sangat  mereka  inginkan.  Selera  baca  mereka  pastinya  menjengkelkan  bagi
               Lay dan Dickinson, yang juga tersinggung oleh cara Belanda menghalangi
               aktivitas misi di mana pun mereka berkuasa. Lay bahkan menyebutkan bahwa
               sementara “sang Pangeran Kegelapan” sudah lama menguasai Borneo, “orang-
               orang  Belanda-lah”  yang  “belakangan  ini  menjamin  kekuasaan  tunggal
               atasnya menjadi milik sang Pangeran untuk selamanya”. 3
                    Akan tetapi, kadang-kadang, kedua misionaris tersebut dikejutkan oleh
               keterbukaan umat Muslim Nusantara. Kepala “pendeta” Brunei—yang pernah
               bermukim di Mekah selama 25 tahun—mengaku berhubungan baik dengan
   133   134   135   136   137   138   139   140   141   142   143