Page 150 - Masalah Pertanahan di Indonesia
P. 150
untuk turun, karena 30% saja dari hasil panen ikan peliharaan telah banyak
sekali. Dengan alasan yang sama kalau tambak yang digarap luas maka bagian
penggarap cenderung untuk turun dalam persentasenya. Penunggu memang
ada yang mendapat bagian dari hasil panen, yaitu 10-25% (Sidoarjo) tapi ia
hanya mengawasi dan mengamankan saja (caretaker) dan tidak mengerjakan
tanah.
Hal ini membuat kita menilai kembali pelaksanaan UU. No. 16 tahun
1964 dengan penerapan sesungguhnya. Apalagi terdapat kenyataan bahwa
hampir menyeluruh di Indonesia tak ada perjanjian bagi hasil yang terdaftar di
kelurahan atau kecamatan.
5. Gadai dan Sewa Tambak
Pada Bab VI tentang ketentuan-ketentuan Peralihan pasal 53 disebutkan
antara lain bahwa hak gadai dan hak sewa tanah pertanian diusahakan
hapusnya di dalam waktu yang singkat. Tugasnya dilarang terjadi lagi.
Kedua macam hak ini adalah transaksi tanah untuk sementara yang
telah melembaga di daerah pertambakan. Sekarang, seperti sebelum tahun
1960 kedua macam transaksi tadi terjadi lagi, membuktikan kuatnya tradisi
pedesaan dalam transaksi tanah.
Mengenai gadai memang sepatutnyalah dihapuskan karena sangat
merugikan pemilik tambak.
Pegadaian tambak terjadi kalau pemilik tambak dirundung kemalangan
seperti pemilik sakit, panen gagal, tak ada modal kerja dan lain-lain. Jangka
waktu gadai kebanyakan panjang 5, 10 tahun bahkan sampai diwariskan,
kadang-kadang berakhir dengan hilangnya tambak pemilik. Pemberi kredit
kerap kali hanya mau menerima gadai kalau jangka waktu minimumnya
cukup panjang supaya modal yang ditanamnya kembali. Pada umumnya
tambak yang digadaikan berkeadaan tidak baik.
Persewaan tambak lebih banyak terjadi daripada penggadaian.
Terjadinya juga karena hal-hal yang sama dengan penggadaian tetapi pemilik
masih beruntung mendapatkan penyewa. Seandainya pemilik tambak tak
menemukan penyewa dan tak ada orang yang mau berbagi hasil dengannya,
maka ia terpaksa menelantarkan tambaknya atau menjualnya kepada orang
115