Page 59 - Ebook_Menabung
P. 59
yang dianggap sebagai bekas ibukota Majapahit.
Di samping itu, terdapat petunjuk adanya kesukaan para bangsawan Jawa untuk
keluar ibukota beserta iring-iringan rombongan dalam jumlah besar dan dilakukan secara
meriah. Berita Chau Ju-kua dari abad ke-12 dan abad ke-13 tentang Sukitan dikutip dari
ahli sejarah kuno Wirjosuparto sebagai bagian dari kerajaan Kadiri menyebutkan catatan
sebagai berikut.
“Jika raja mengadakan perjalanan ia dinaungi oleh payung hitam atau putih, diiringi
oleh lebih dari 500 pengikut yang membawa berbagai senjata jenis tombak dan
pisau, dan memakai berbagai bentuk topi: ada yang berbentuk kepala harimau, Menabung Membangun Bangsa
menjangan, kebau, biri-biri, unggas, gajah, singa, atau kera, dengan bendera-
bendera kecil berbagai warna (hitam, merah, biru, putih, kuning) yang terbuat
dari kain sutra”.
Mengenai tujuan utama kegiatan itu tidak disebutkan, Tetapi dari keterangan sepintas,
yaitu “jika akan mengadakan perjalanan”, tampaknya tidak dimaksudkan untuk berperang.
Kemungkinan lainnya adalah sekadar untuk melakukan arak-arakan atau kegiatan
perburuan atau kedua-duanya. Kebiasaan itulah yang mengawali tradisi perjalanan
keliling kerajaan pada masa Majapahit. Di dalam kitab Negarakrtagama pupuh 50—54,
antara lain, disebutkan bahwa di sela-sela perjalanan panjang, raja melakukan perburuan
di tempat yang jauh dari permukiman desa. Bersamanya terdapat para pengiring yang
memiliki kedudukan berbeda-beda, para pembantu kerajaan yang bersenjata (bala)
berjalan kaki, para pejabat sipil rendahan (bhertya), dan para pendeta (wiku). Adapun
kendaraan yang dinaikinya (wahana) adalah, terutama, kuda di samping pedati.
Kebiasaan semacam ini tampaknya sangat berakar hingga ditiru juga oleh penguasa
bawahan yang kemudian bangkit sesudah Majapahit mengalami kemunduran. Gejala ini
tecermin dalam catatan Tome Pires dan pengunjung Eropa yang pertama datang ke wilayah
Jawa pada awal abad ke-16. Pires, misalnya, mengatakan bahwa raja-raja Jawa yang suka
pesiar dan pesta-pesta adalah juga ahli dalam berkuda dan menyukai kegiatan berburu.
Selain itu, disebutkan bahwa pada saat hendak mengadakan perayaan perkawinan atau
melakukan perburuan, raja mengumumkan hal itu di pusat kota. Pada saat bepergian ia
diiringi oleh dua hingga tiga ribu orang yang membawa tombak berhias emas dan perak.
Raja di depan kemudian disusul para selir yang naik pedati. Para istri menaiki gajah yang
diberi pakaian berhias di belakangnya diikuti oleh 30 orang perempuan berjalan kaki yang 49
susunannya menurut tingkatan statusnya. Di belakangnya adalah pejabat tinggi (Guste
Pate) dengan tombak buruan beserta sejumlah anjing pemburu. Kebiasaan semacam
ini tidak hanya dilakukan oleh raja, tetapi juga penguasa-penguasa bawahannya. Pires
mendengar cerita ini di kota Tuban dan melihat dengan sendiri di Sedayu.
Gambaran di atas menjelaskan bahwa masyarakat Jawa Kuno sejak masa Hindu
Buddha memang memiliki gaya hidup yang menyukai kesenangan dunia. Mengonsumsi
harta dan kekayaan dunia telah menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat dari pejabat
kerajaan hingga rakyat.