Page 76 - Modul P5 Spenfoursada
P. 76
mendapatkan bentuk yang indah serta mengandung nilai filosofis untuk memuja Ida Hyang Widhi.
Khusus untuk Ketupat adalah merupakan salah satu unsur yang membentuk sebuah Upakara, tapi
juga dapat berdiri sendiri.
Adakah sastra yang menyebutkan adanya penggunaan Ketupat dalam Upakara ?
Segala kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu pada dasarnya untuk kerahayuan bersama,
apalagi yang namanya Ketupat, sebagai sarana upakara untuk persembahan yang dikerjakan dengan
tangan trampil. Dalam Bhagawadgita, III, 14 ada disebutkan ;
Annad bhavati bhutani, Parjayad annasambhawah, Yajna bhavati parjanyo, Yajna karma
samudbhawah.
Artinya : Karena makanan, makhluk dapat hidup. Karena hujan makanan itu tumbuh, Karena
yadnya/persembahan hujan itu turun Persembahan itu ada karena kerja (karma).
Dari sloka di atas kata anna (m) adalah Bahasa Sanskerta kemudian masuk dalam Bahasa
Bali annam (an) yang artinya makanan. Di Bali kalau sudah ada yang meneyebutkan anaman (Alus
singgih ) berarti Ketupat (Bahasa Indonesia), kemudian menjadi Bahasa lumbrahnya yaitu : Ketipat ,
dan sering kita mendengar ucapan “numbas anaman” artinya membeli ketupat (meli Tipat), yang
pada intinya membeli makanan.
Disamping itu melihat keberadaan dan mata pencaharian umat Hindu pada jaman dahulu
adalah agraris, sehingga umat Hindu sangat yakin dan percaya kebesaran saktinya Dewa Wisnu yakni
Dewi Sri. Dewi Sri adalah identik dengan Dewi Padi atau Dewi kemakmuran, maka dari itu umat
Hindu selalu mengutamakan mempersembahkan terlebih dahulu atas hasil pertanian yang diperoleh
dari tanah yang mereka olah. Penghormatan dan wujud puji syukur serta ungkapan terimakasihnya
kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam hal ini Dewi Sri yang telah menganugerahkan umat-Nya
kesuburan maka umat Hindu mengolah padi atau beras dalam berbagai wujud seperti berupa Bubur,
Nasi, Jajan dan Ketupat.
Semua olahan dari bahan beras dipergunakan dalam upakara. Jika umat Hindu yang Petani di
Bali sebelum memanen padinya pasti menggunakan Upakara yang lumbrah disebut Mabyukukung,
dimana upakara ini menggunakan berbagai jenis ketupat, namun sekarang sudah jarang kita dapat
temui karena alih lahan yang sedang merambah pertanian kita. Sumber lain menyebutkan, Ketupat
adalah salah sarana upakara yang telah ada sejak jaman Bali Mula (882–913), Shri Aji Bhumi
Banten, Shri Kesari Warmadewa Udayana di Bali hingga cucunya Airlangga yang menjadi Raja di
Jawa mengatakan bahwa Bebantenan adalah sarana/bahasa/lambang, hubungan kesadaran manusia
dengan Hyang Agung (Makrokosmos), Ketupat tersebut hasil ketrampilan tangan yang termasuk
hasil budaya, membutuhkan ketelatenan, kesabaran dengan mengkait-kaitkan janur / Busung
sehingga menghasilkan bentuk yang dibutuhkan.
Ketupat setelah selesai dibuat sesuai dengan bentuk yang diperlukan oleh yang membuatnya,
akan diisi beras kemudian direbus kurang lebih 1,5 jam untuk memperoleh hasil yang lebih
kenyal.Membuat Ketupat sangat membutuhkan ketelatenan sehingga orang tua-tua kita mengajarkan
secara turun temurun agar Ketupat dapat lestari keberadaannya. Maka dari itu, merupakan tugas kita
@smpnegeri4sukasada_2021