Page 155 - Buku Paket Kelas 11 Sejarah Indonesia Semester 1
P. 155
itu baru berusia 16 tahun. Tetapi setelah dikepung di Pegunungan Tangse Teungku Ma’at Tiro berhasil ditembak mati oleh Belanda pada tahun 1911. Ia mati syahid gugur sebagai kusuma bangsa.
Sementara itu, di pesisir utara dan timur Aceh
juga masih banyak para ulama dan pemimpin
adat yang terus melakukan perlawanan. Tokoh
perlawanan tersebut diantaranya Teuku Ben
Pirak (ayah Cut Nyak Mutia), Teuku Cik Tinong
(suami Cut Nyak Mutia). Setelah ayah dan
suaminya gugur, Cut Nyak Mutia melanjutkan
perang melawan kekejaman Belanda. Cut Nyak
Mutia sesuai dengan pesan suaminya Teuku Cik
Tunong sebelum ditembak mati oleh Belanda
disarankan untuk menikah dengan Pang
Nanggru. Oleh karena itu, Cut Nyak Mutia dapat
bersama-sama melawan Belanda dengan Pang
Nanggru. Pada tanggal 26 September 1910
terjadi pertempuran sengit di Paya Cicem. Pang
Nanggru tewas dan Cut Nyak Mutia berhasil
meloloskan diri. Bersama puteranya Raja Sabil (baru usia 11 tahun), Cut Nyak Mutia terus memimpin perlawanan. Tetapi Cut Nyak Mutia akhirnya dapat didesak dan gugur setelah beberapa peluru menembus kaki dan tubuhnya. Ulama yang lain seperti Teungku Di Barat bersama istrinya Cut Po Fatimah masih melanjutkan perlawanan, tetapi suami-istri itu akhirnya juga gugur tertembak oleh keganasan peluru Belanda pada tahun 1912. Demikian Perang Sabil yang digelorakan rakyat Aceh secara massal baru berakhir pada tahun 1912. Tetapi sebenarnya masih ada gerakan-gerakan perlawanan lokal yang berskala kecil yang sering terjadi. Bahkan, dikatakan perang-perang k»ecil itu berlangsung sampai tahun 1942.
Kamu sudah belajar tentang sejarah Perang Sabil di Aceh. Bagaimana penilaian kamu tetang semangat dan perjuangan rakyat dan para tokoh di Aceh. Mengapa Perang Sabil di Aceh berlangsung begitu lama? Pelajaran apa yang dapat kamu peroleh, apa yang dapat kamu teladani dalam peristiwa sejarah Perang Sabil di Aceh?
Sumber: Jejak-jejak Pahlawan: Dari Sultan Agung Hingga Hamengkubuwono IX, 1992. Gambar 2.35 Cut Nyak Mutia.
Sejarah Indonesia
147