Page 141 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 141
Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2), di mana tenaga listrik yang merupakan cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara,
yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat.Pihaknya
disampaikan Kuncoro, sudah berkali-kali menyampaikan kepada pihak-pihak terkait akan
dampak buruk yang ditimbulkan jika omnibus law dilakukan.
"Tetapi aspirasi dan masukan yang kami sampaikan hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga
tangan. Sebelumnya Para Wakil Rakyat telah berjanji akan menjadikan putusan MK sebagai
pegangan dalam penyusunan UU Cipta Kerja, tapi nyatanya dalam pembahasan Subklaster
Ketenagalistrikan janji tersebut terlupakan," kata Kuncoro dalam siaran pers yang diterima
Kontan.co.id pada Selasa (6/10).
Adapunn hal nyata dari omnibus law yang paling mengancam sektor ketenagalistrikan di
Indonesia adalah: Pertama, peran DPR yang dihapuskan adalah hak dalam konsultansi Rencana
Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang mengakibatkan aspirasi masyarakat dan peran
masyarakat dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional, tidak tersalurkan sehingga
perencanaan-perancanaan ketenagalistrikan berpotensi hanya untuk kepentingan dan
keuntungan bagi pihak-pihak tertentu.Kemudian RUKN sangat berperan penting penentuan
harga listrik karena terkait dengan jenis energi primer yang digunakan dalam pembangkit tenaga
listrik, karena harga listrik ditentukan 70% dari jenis energi primernya.
Oleh karena itu campur tangan para wakil tangan dalam kebijakan energi primer menjadi sangat
penting dalam Pembahasan RUKN. Pada ujungnya tarif listrik akan berdampak juga terhadap
ekonomi masyarakat. Selanjutnya inti dari dihapusnya peran DPR dalam konsultansi Rencana
Umum Ketenagalistrikan Nasional menyalahi prinsip check and balance dalam melaksanakan
kegiatan bernegara di Indonesia.
Kedua, kembali dimasukkannya Pasal 10 Ayat (2) terkait Unbundling sektor pembangkitan,
transmisi, distribusi, dan penjualan juga Pasal 11 Ayat (1) yang memperbolehkan badan usaha
swasta dalam penyediaan listrik untuk kepentingan mengakibatkan menyalahi keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 bahwa Ketentuan
Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut tidak memiliki kekuatan Hukum.
Selain itu juga akan mengakibatkan pertimbangan MK dalam putusan tersebut adalah bahwa
ketentuan-ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut menghilangkan fungsi
kontrol negara dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang menjadi
kebutuhan vital masyarakat Indonesia dan hilangnya kedaulatan energi bagi negara.
Terakhir membuat munculnya potensi memperburuk kondisi ketenagalistrikan saat ini yang telah
mengalami kelebihan pasokan listrik (oversupply) dan besarnya kewajiban pembayaran take or
pay kepada pembangkit listrik swasta (TOP IPP).Oleh karena itu, serikat pekerja di sektor
ketenagalistrikan meminta omnibus law yang sudah disahkan segera dibatalkan. Terlebih lagi,
beleid ini ditolak oleh banyak elemen masyarakat. Tidak hanya buruh, tetapi juga mahasiswa,
petani, nelayan, masyarakat adat, akademisi, penggiat HAM, dan sebagainya.
Presiden juga diminta oleh serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan harus mengambil sikap
tegas untuk mengeluarkan PERPPU yang menunda pemberlakukan Omnibus Law UU Cipta Kerja
sampai batas waktu yang tidak ditentukan.
140

