Page 115 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 OKTOBER 2020
P. 115
Sejumlah poin utama yang diajukan oleh PP FSP RTMM-SPSI ialah, pembatalan rencana kenaikan
Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) pada tahun 2021. Hal itu dinilai akan
berdampak langsung kepada pekerja industri hasil tembakau.
Kemudian meminta Menteri Keuangan agar melibatkan kementerian terkait dalam mengambil
kebijakan kenaikan HJE-Cukai tahun 2021, diantaranya Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian
Perindustrian, Kementerian Pertanian, serta melibatkan pemangku kepentingan lainnya seperti
industri hasil tembakau/ pengusaha, asosiasi industri hasil tembakau, pekerja/buruh dalam hal
ini diwakili serikat pekerja FSP RTMM-SPSI, petani dan seluruh pihak terkait lainnya.Terakhir,
meminta pemerintah untuk melindungi industri rokok kretek sebagai industri khas Indonesia dan
padat karya, yang paling rentan terkena program efisiensi di industri hasil tembakau (IHT).
Ketua umum FSP RTMM-SPSI Sudarto menyebut pihaknya sudah menyurati Presiden Joko
Widodo pada 9 September lalu. Isi surat tersebut terkait permohonan perlindungan atas
hilangnya pekerjaan anggota FSP RTMM-SPSI yang bekerja di industri hasil tembakau, akibat
pabrik yang tutup dikarenakan regulasi dan kebijakan yang dinilai tidak adil. Sudarto
menyampaikan kenaikan cukai tahun 2020 yang mencekik ditambah dengan mewabahnya
pandemi Covid-19, telah membuat kondisi industri hasil tembakau (IHT) semakin tertekan dan
tidak menentu.
"Imbasnya adalah pada pekerja, anggota kami yang terlibat dalam sektor industri ini. Penurunan
produksi telah menyebabkan penurunan penghasilan, kesejahteraan dan tentu daya beli pekerja.
Pertanyaannya, dimanakah peran Pemerintah untuk melindungi rakyatnya, khususnya pekerja
yang menggantungkan penghidupannya dari industri legal ini?," ungkap Sudarto dalam siaran
pers yang diterima Kontan.co.id pada Minggu (25/10).Sudarto menegaskan, selama ini
pemerintah mengandalkan sektor IHT dan pajak hasil tembakau sebagai penerimaan negara.
Sedangkan para pekerja juga membutuhkan keberlangsungan bekerja dan penghidupan layak.
"IHT bukanlah 'sapi perah' bagi penerimaan negara tanpa ada stimulus yang signifikan untuk
bisa bertahan walau alasan kesehatan selalu menjadi pertimbangan utama. Pengusaha IHT bisa
menutup industrinya dan mengalihkan usahanya pada sektor lain tetapi bagaimana dengan
pekerja dengan tingkat Pendidikan rendah dan keterampilan terbatas," ungkap Sudarto.
114