Page 39 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 18 AGUSTUS 2021
P. 39
reformasi perlindungan sosial serta pengembangan skema perlindungan sosial adaptif, dan
kelima, melanjutkan pelaksanaan program perlindungan sosial melalui belanja bantuan sosial,
subsidi, dan bantuan langsung tunai (BLT) Desa.
Jika dilihat secara utuh dalam Nota Keuangan RAPBN 2022, terdapat sejumlah risiko yang
membayangi implementasi program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) ke depan. Program itu
berpotensi membebani kondisi fiskal tahun depan sehingga intervensi kas negara diperlukan
pada 2023 jika masih tenlapat dampak pan-demi Covid-19.
Struktur anggaran program JKP tidak membebankan iuran tambahan bagi para peserta Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek. Sumber pendanaan
program itu berasal dari dana program-program jaminan sosial ketenagakerjaan lainnya.
BP Jamsostek bertugas untuk mengelola dan mengembangkan dana awal dari rekomposisi iuran
program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm). Terdapat pula porsi
dana awal dari pemerintah, tetapi alokasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN)
senilai Rp6 triliun ini belum direalisasikan sehingga dana JKP belum dapat diinvestasikan.
"Dengan kondisi seperti ini, pada 2022, dana program akan tergerus untuk membayar manfaat
program JKP kepada peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja [PHK]," tertulis dalam
Buku II Nota Keuangan dan RAPBN 2022 yang dikutip pada Senin (16/8).
Pemerintah memproyeksikan dana program berpotensi makin insolvent apabila tidak ada kendali
dalam pendanaan manfaat pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh Kementerian
Ketenagakerjaan.
Selain itu, dalam dokumen tersebut tertulis bahwa potensi risiko fiskal terhadap ketahanan dana
program diproyeksikan timbul dari rekomposisi iuran JKK dan JKm yang tidak tercapai sesuai
target. Lalu, masifnya PHK sebagai dampak pandemi Covid-19 pun akan memperbesar risiko.
"Dalam hal dampak tersebut berlanjut, diproyeksikan pada 2023 perlu ada intervensi dari APBN
untuk menyehatkan dana program JKP," tertulis dalam dokumen itu.
Apabila kondisi ekonomi Indonesia mengalami pemulihan dari dampak pandemi Covid-19,
potensi risiko fiskal dalam jangka menengah diproyeksikan akan mengecil. Hal tersebut karena
iuran JKK dan JKm dapat terakumulasi lebih besar, sehingga imbal hasil pengembangan dana
lebih tinggi dan klaim peserta dapat menurun.
"Namun, apabila recovery perekonomian tidak kunjung terjadi, deviasi risiko fiskal dalam jangka
pendek dan menengah akan melebar," dikutip dari penjelasan dokumen tersebut.
Adapun, pelaksanaan program JKP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 37/2021 tentang
Penyelenggaraan Program JKP sebagai amanat dari Undang-Undang 11/2021 tentang Cipta
Kerja.
KERENTANAN
Dalam kesempatan sebelumnya, Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menilai
pekerja masih rentan kesulitan memperoleh manfaat program JKP jika pemberi kerja masih
menunggak iuran kepada BPJS Ketenagakerjaan, meskipun sudah terdapat ketentuan baru bagi
perusahaan penunggak iuran.
Salah satu ketentuan yang disoroti Timboel adalah kewajiban perusahaan atau pemberi kerja
untuk membayar klaim JKP jika menunggak iuran lebih dari 3 bulan. Seperti diketahui, iuran
38