Page 129 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 AGUSTUS 2020
P. 129
KINERJA INDUSTRI TEKSTIL ANJLOK 14%
Oleh Leonard Al Cahyoputra
Kinerja industri teksil dan pakaian anjlok 14,23% pada kuartal II-2020, dibandingkan periode
sama tahun lalu dan turun 8,72% dibandingkan kuartal sebelumnya. Hasil negatif ini sejalan
dengan ekonomi nasional yang turun 5,32% kuartal II lalu.
Kini, ekonomi Indonesia terancam terkena resesi secara teknikal, jika kuartal 111-2020 kembali
minus. Hal ini dapat mengacaukan pertumbuhan industri tekstil nasional.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Rakhman menerangkan, jika
Indonesia resesi pada kuartal III-2020, sentimen pasar akan berubah total. Seiring dengan itu,
kinerja industri TIT kemungkinan tetap negatif. Adapun tanpa resesi, penurunan TPT tidak
setajam kuartal II lalu.
"Resesi akan mengubah pasar dan menggerus daya beli masyarakat. Pergerakan ekonomi jadi
lebih tidak terprediksi. Resesi juga dapat membuat pemulihan TPT molor dari akhir 2021 menjadi
akhir 2022," ujar Rizal kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (11/8).
Dia menerangkan, untuk mencegah kontraksi ekonomi nasional kuatral III-2020, API
mengusulkan pemerintah memberikan stimulus berupa diskon waktu beban puncak sebesar
30%. Seperti diketahui, rata-rata perusahaan TPT memiliki daya sekitar 200 ribu
kWh dengan beban biaya puncak Rp 1.500 per jam.
Selain itu, dia menegaskan, API mengusulkan mengeluarkan fly ash bottom ash (FABA) dari
daftar limbah berbahaya dan beracun (B3). Pemain TPT juga meminta keringanan pembayaran
cicilan ke pihak perbankan.
Dia menambahkan, ekspor sebenarnya dapat menjadi katalis untuk pendongkrak pertumbuhan
TPT. Namun, pandemi Covid-19 membuat ekspor turun. Selama Januari-Juni 2020, berdasarkan
data API, volume ekspor TPT mencapai 819.054 ton, turun 17,2% dari periode yang sama tahun
lalu 989.556 ton. Sementara itu, ekspor garmen pada periode itu mencapai 190.661 ton, turun
5,34% dari 201.410 ton.
"Ekspor kita masih mengandalkan negara tujuan konvensional, seperti Amerika Serikat (AS) dan
Uni Eropa, yang belum pulih ekonominya. Kalau ekonomi dua wilayah itu sudah kembali pulih
atau normal, otomatis ekspor terdongkrak dengan sendirinya, apalagi untuk garmen," ujar Rizal.
Dia menerangkan, saat ini, utilitasi industri TPT rata-rata 50% dan garmen berorientasi ekspor
berkisar 70-80%. Peningkatan ini disebabkan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar
(PSBB) di beberapa daerah, yang membuat pasar TIT grosir, seperti Tanah Abang kembali
beroperasi.
"Jadi ini membuat industri terpacu, meski belum naik secara progresif. Akan tetapi, ini sudah
cukup mendongkrak utilisasi pabrik," ucap Rizal.
Di sisi lain, para pemangku kepentingan pertekstilan nasional mendukung keseriusan pemerintah
dalam mengusut kasus importasi tekstil secara tuntas dan menjadikan kasus Batam sebagai pintu
masuk impor. Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), Asosiasi Pertekstilan Indonesia
(API), Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) hingga komunitas
industri kecil dan menengah (IKM) di sentra-sentra produksi di berbagai daerah menyuarakan
hal yang sama.
Ketua Umum IKATSI Suharno Rusdi menyatakan, importasi ini menyebabkan pasar domestik
banjir impor barang murah, sehingga menekan kinerja industri TPT dalam negeri. Bahkan,
128