Page 109 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 109

Tuyul






                 udara  BeruBah  dingin.  Kami  pulang  di  belakang  iringan
                 jenazah. Di sebuah titik kami dan mereka berlain arah. Kulihat
                 cahaya mencercah langit. Sedetik terang benderang. Di dalam
                 kilat  cahaya,  Watugunung  menampakkan  diri,  bagai  siluet
                 raksasa tua. Kepalanya berpunuk­punuk dan rambutnya ber­
                 cerapuk. Lalu ia menghilang lagi. Dalam gelap. Kemudian kilat
                 kembali menyambar, menyengat tanduk cadasnya. Cahaya biru
                 meletup. Begitu dekat. Sesuatu terdengar pecah. Percikannya
                 lebih cepat daripada suara guruh. Bunyi guntur bagai gelom­
                 bang  digemulungkan  dari  langit,  tiba  ke  bumi  sedikit  bela­
                 kangan.  Aku  dan  Parang  Jati  saling  melirik  di  atas  sepeda.
                 Dalam sunyi kami bertukar duga bahwa petir menyambar batu
                 mezbah tempat lelaki yang mati itu mempersembahkan sesa­
                 jen.  Sesajen  yang  kami  makan  pisang  dan  jeruknya  kemarin
                 dulu.
                     Sebuah  dorongan  aneh  yang  telah  kukenal  hampir  saja
                 membuat  aku  mengajukan  taruhan  baru.  Petir  menyambar
                 itu  berarti  sesajen  diterima  atau  tidak  diterima.  Tapi  segera
   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114