Page 162 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 162
Lalu ia menghardik aku: Memangnya aku ini tuhanmu, apa!
Ia mengomelkan sesuatu yang sebagian tak kumengerti: Kalau
mau cari, ya cari. Cari itu dengan badan. Bukan dengan
pertanyaan.
Aku menganggukangguk. Aku setuju bahwa perempuan
ini, meski sulit dipahami, sama sekali bukan orang bodoh.
Satu, orang dungu tak pernah jahil. Dua, aku bisa merasakan
orang yang tumpul dan yang tajam. Seperti aku bisa merasakan
batu yang lunak dan yang keras dalam pemanjatan. Jangan
kau andalkan batuan yang mudah rumpal. Kau hanya bisa me
masang pengamanmu pada cadas yang kokoh. Mbok Manyar
adalah jenis yang kedua. Kesengitannya mengagumkan aku.
Ada di dunia ini pernyataan yang keruh, yang hanya
menunjukkan kekacauan pikir. Misalnya, yang diucapkan istri
Kabur bin Sasus itu. Tapi ada pernyataan yang begitu padat
sehingga tampak pekat dan tak tembus cahaya. Namun, per
nyataan yang utama bagaikan marmar tua. Padat serentak
menghantar terang. Dan katakata yang ulung adalah seperti
intan. Keras namun menguraikan cahaya.
Orang yang sukanya menonton televisi dijamin lebih dekat
kepada kekeruhan yang menunjukkan kekacauan pikir. Seolah
untuk memastikan teoriku, tanpa penuh sadar aku bertanya
padanya.
“Mbok Manyar suka nonton tivi?”
Ia memicingkan mata kanannya lagi dan memeriksa aku
dengan mata kirinya.
Hah! Biar Mbok ini punya televisi untuk cucucucu Mbok
saja… dan, sayangnya, Mbok ini tidak punya cucu.
Ia terpingkalpingkal lagi dengan tawa logamnya. Kali
ini aku terbahakbahak juga. Barangkali oleh sebuah rasa
puas karena seseorang yang kutakjubi samasama menghina
televisi.
1 2