Page 261 - Bilangan Fu by Ayu Utami
P. 261
Penonton bubar dengan hati gembira. Pak Pontiman ber
salamsalaman dengan para juri dari kabupaten. Yang menjadi
bintang malam itu adalah para prajurit Belanda. Anakanak
jangkung berdandan Petruk itu telah menjadikan drama ini
sebuah gorogoro yang membuat pemirsa menyimpan tawa
selama sepekan. Tapi, para anggota pasukan Mur Jangkung itu
sendiri akan terpingkalpingkal untuk waktu lebih lama lagi.
Dalam buku hariannya Parang Jati menulis bahwa ia
tak pernah benarbenar meniatkannya. “Siang itu,” tulisnya,
“keinginan saya cuma satu. Agar Kupu tidak dikeroyok. Mes
kipun anak itu sangat ambisius, tak sebanding kalau dia
dikepung dan digebugi anakanak senior.” Maka, Jati menyusul
temantemannya ke bawah pohon kapuk. Tapi, ia tak ingin
berlagak pahlawan, menjadi pembela bagi yang kecil. Karena
itu ia memilih strategi lain. Ia mengajak temantemannya
menunda kegemasan, untuk menumpahkannya secara cerdik
tepat di waktu pertunjukan. “Kita lakukan saja persis seperti
yang diceritakan dalam Babad Tanah Jawi.”
Setelah melontarkan ide itu Jati tak melakukan apapun
untuk mewujudkannya. Tapi ia tahu, temantemannya yang
jahil dan jengkel akan meneruskan usulan itu tanpa campur
tangannya. Ia sendiri tak peduli untuk menghentikannya. Tinja
siapa yang digunakan, ia persetan. Bagi dia, kejahilan lebih
baik ketimbang pemukulan dan pengeroyokan. Setidaknya,
kejahilan melibatkan kecerdikan dan kreativitas. Pemukulan
sematamata kekerasan.
Peristiwa ini kuceritakan karena satu hal penting. Di
sinilah Parang Jati belajar mengenai dasardasar agitasi dan
provokasi—sesuatu yang, setelah ia besar, ia percaya betul
merupakan caracara intelijen militer. Ia menulis dalam buku
hariannya, “Betapa mudah untuk menggiring segerombolan
orang melakukan kejahatan tertentu. Asalkan, gerombolan itu
telah memiliki dendam kesumat di dalam dirinya. Ya, kesumat.
Tinggal pandaipandai kita menyumatnya.”
2 1