Page 39 - BUMI TERE LIYE
P. 39
TereLiye “Bumi” 36
”Eh? Maksudmu, nama kucingnya ada dua? Dikasih dua nama ya,
karena warna bulunya tidak bisa dibedakan hitam berbelang putih atau putih
berbelang hitam?” Papa bingung.
”Bukan, Pa.” Aku menoleh. Masa Papa nggak ngerti juga, ujarku dalam
hati. ”Kucingnya kan ada dua, Pa. Jadi yang satu namanya si Hitam,
satunya lagi si Putih.”
Waktu itu aku tidak terlalu menganggap penting percakapan tersebut.
Mama menyikut pelan Papa, mengedipkan mata. Papa mengangkat bahu,
menoleh, menatap Mama tidak mengerti, lalu kem-bali duduk di sofa.
”Biasa, Pa. Beberapa anak juga begitu. Selalu punya ‘teman lain’,”
Mama berbisik.
”Teman lain?” Papa ikut berbisik.
”Teman imajinasi.” Mama tersenyum simpul. ”Bermain dengan
imajinasi. Karena kucingnya hanya satu, biar seru, mungkin Ra menganggap
ada anak kucing lain, biar ada temannya. Jadilah dia seperti punya dua
kucing.”
”Mama serius?” Papa menelan ludah.
”Tentu saja. Coba Papa tanyakan ke teman kantor, tetangga, kenalan,
mereka pasti bilang anak-anak biasa mengalami fase itu. Tidak berbahay a,
lama-lama hilang sendiri.”
”Tapi Ra kan sudah sembilan tahun, Ma?”
Mama tertawa pelan. ”Bukannya Papa sendiri yang bilang bahwa Ra
masih bayi? Setiap malam selalu mengecup dahinya, bilang, ’Selamat tidur,
bayi besarku.’”
Papa tertawa, lalu mengangguk. Dia meraih remote DVD player.
”Mama benar. Ra masih anakanak. Setidaknya dia senang sekali dengan
kucing barunya. Bahkan film kartun ke-sayangannya pun diabaikan. Kita
nonton yang lain saja. Mumpung Ra tidak akan protes.”
http://cariinformasi.com