Page 147 - Hubungan Indonesia Jepang dalam Lintasan Sejarah
P. 147

ISLAM DAN DAI NIPPON: RESPON INTELEKTUAL MUSLIM ATAS PENDUDUKAN
                                JEPANG DI INDONESIA (1942-1945)

            Wondoamiseno,  yang  diyakini  dibuat  pada  Agustus  1942,  Yasuko  (1997:  81-80)
            memberi  suatu  gambaran  cukup  detail  mengenai  usulan  pemikiran  dan  juga
            pendekatan  Wondoamiseno  terkait  masalah  Islam  terhadap  pemerintah
            pendudukan  Jepang,  sebagaimana  tertuang  dalam  dokumen  draft  “Rencana:
            Pendjelasan  Permohonan  MIAI”.  Selain  menegaskan  akar  kuat  MIAI  dalam
            organisasi  massa  Islam  di  seluruh  Jawa,  Wondoamiseno  juga  mengetengahkan
            usulan  pemikiran  yang  dalam  beberapa  segi  tertentu  setara  dengan  manajemen
            masalah-masalah keagamaan yang dijalankan Kantor Urusan Agama (Shūmubu).
                    Dalam  hal  ini,  Wondoamiseno  pada  beberapa  aspek  tertentu  berhasil.
            Pemerintah  Jepang  memang  sempat  melakukan  sejumlah  upaya  untuk  menjalin
            hubungan  dengan  massa  Muslim  dengan  mendirikan  komite  untuk  Persiapan
            Persatoean Oemat Islam di bawah Abikusno Tjokrosujoso (dari PSII) sebagai ketua
            (van  Nieuwenhuijze  1958:  136-9).  Namun,  setelah  diselenggarakan  pertemuan
            dengan  menghadirkan  tiga  puluh  pemimpin  organisasi  massa  Islam  pada
            September  1942,  di  bawah  naungan  proyek  propaganda  Jepang  “3A”,  tidak  ada
            organisasi  baru  yang  berdiri  sebagai  hasil  pertemuan  tersebut.  Hal  yang  terjadi
            justeru  memutuskan  untuk  mempertahankan  MIAI  sebagai  organisasi  yang
            mewakili Muslim Indonesia dan menunjuk Wondoamiseno sebagai ketua. Selain itu,
            pertemuan  atau  konferensi  tersebut  juga  memutuskan  untuk  memindahkan
            markas besar MIAI dari Surabaya ke pusat pemerintahan militer di Batavia (Benda
            1985: 146-147).
                    Demikianlah, sejak akhir 1942 Wondoamiseno dengan MIAI yang baru saja
            disahkan oleh tentara pendudukan Jepang  mulai bergerak dengan pertama-tama
            membentuk  kepengurusan  organisasi.  Dalam  hal  ini,  organisasi-organisasi  Islam
            terkemuka  memang  terwakili.  Mr.  Kasman  Singodimedjo  dan  Farid  Ma’ruf
            (Muhammadiyah), juga Machfud Siddiq dan Wachid Hasjim (NU), menjadi anggota
            di  barisan  eksekutif.  Sementara  di  Badan  Penasehat,  KH.  Mas  Mansoer
            (Muhammadiyah) menjadi ketua, dengan KH. Wahid Hasjim (NU), Achmad Soekati
            (al-Irshad),  Hamka  dan  Sayyid  Ali  al-Habsyi  (komunitas  Arab  Kwitang)  duduk
            sebagai  anggota  (Asia  Raya,  16  November  1942).  Hanya  saja,  Wondoamiseno
            mengangkat  Harsono  Tjokroaminoto  (PSII)  menjadi  skretaris  di  badan  eksekutif,
            satu  posisi  yang  sangat  menentukan  dalam  roda  organisasi,  sehingga  kesan  dan
            persepsi bahwa kebijakan MIAI lebih banyak ditentukan oleh kelompok PSII tidak
            bisa dihindari (Benda 1985: 147).
                    Namun  demikian,  lepas  dari hal  tersebut  diatas—yang  di kemudian  hari
            menjadi masalah tersendiri bagi MIAI—Wondoamiseno dengan kepengurusan MIAI
            yang baru kemudian berusaha tampil dengan program-program untuk memperoleh



                                             138
   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152