Page 217 - BUKU NATIONAL INTEREST DAN AGENDA PEMBANGUNAN EDISI KE-2
P. 217

KIPRAH TAHUN KEDUA WAKIL KETUA DPR/KORINBANG DR. (H.C.) RACHMAT GOBEL

                    itu kemudian  mengalami perubahan  pada 22 Juni 1945 dan akhirnya
                    dikukuhkan  pada  18 Agustus 1945. Sila  Ketuhanan menempati  urutan
                    pertama.
                       Tentang  perubahan  itu,  latar belakangnya  dapat  dipahami  dalam
                    penjelasan Bung Hatta. Menurut  Bung  Hatta, Pancasila terdiri  atas dua
                    lapis fundamen, yaitu fundamen politik dan fundamen moral atau etik
                    agama. “Bagi Bung Karno sendi politik didahulukan, sendi moral menjadi
                    penutupnya,” kata  Bung  Hatta. Akhirnya,  keputusan  yang dibuat  Panitia
                    Sembilan  maupun  PPKI yang menjadi  keputusan  formal pengesahan
                    Pancasila sebagai  dasar  negara seperti termaktub  pada  Pembukaan  UUD
                    1945, sila Ketuhanan menempati urutan pertama.
                       Dengan demikian meletakkan dasar moral di urutan teratas. Hal ini, kata
                    Bung  Hatta, yang ikut  menjadi  anggota Panitia  Sembilan,  sila Ketuhanan
                    menjadi  dasar “yang memimpin  cita-cita negara” dan “memberikan jiwa
                    kepada  usaha” penyelenggaraan cita-cita negara tersebut.  Perubahan
                    ini  juga  memberikan  tambahan  pemahaman  tentang  sila  Ketuhanan  dari
                    yang dimaksud  Bung  Karno. “Ketuhanan  Yang Maha Esa tidak  lagi hanya
                    dasar hormat menghormati agama masing-masing, melainkan jadi  dasar
                    yang memimpin,” kata Bung Hatta. Tak hanya itu,  kata Hatta, “Di bawah
                    bimbingan sila yang pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu
                    ikat-mengikat”.
                       Sila  Ketuhanan  ini  memiliki  posisi  yang  penting,  sebagaimana  sila
                    Kebangsaan yaitu dasar moral, yang satunya menjadi dasar politik.  Keduanya
                    harus berjalan seiring, karena itu, slogan Bhinneka Tunggal Ika menempati
                    posisi yang tak kalah pentingnya karena mengamanahkan persatuan.
                       Tentang persatuan itu, telah ditangkap dengan baik oleh founding fathers
                    dalam Panitia Sembilan. Sila Kebangsaan dinilai masih kurang tegas untuk
                    konteks mempersatukan sehingga bunyinya berubah  menjadi  Persatuan
                    Indonesia.  Di sini kata persatuan menjadi penekanan tersendiri.  Selain
                    itu, sesuai Pasal 29 Ayat 1 UUD 1945  yang berbunyi “Negara  berdasarkan
                    Ketuhanan  Yang  Maha  Esa”, dan  Pasal 29 Ayat  2  yang  berbunyi  “Negara
                    menjamin  kemerdekaan tiap-tiap  penduduk  untuk memeluk  agamanya
                    masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
                    itu” telah menempatkan Indonesia sebagai negara religius dan bukan negara
                    sekular, namun juga bukan negara agama. Dasar-dasar inilah yang menjadi
                    pegangan dalam berbangsa dan bernegara Indonesia.







                                                       199
   212   213   214   215   216   217   218   219   220   221   222