Page 333 - Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakyat Indonesia
P. 333
Mochammad Tauchid
di Jawa dan kepulauan lainnya. Belanda membeli hail-hasil
itu dari rakyat. Untuk mendapatkan jaminan ketentuan dapat-
nya barang-barang itu, Belanda mengadakan perjanjian
dengan penduduk, secara langsung atau melalui raja-raja.
Kemudian dikuatkan dengan adanya perjanjian “monopoli”
dan pungutan paksa. Cara monopoli pemungutan hasil bumi
Rakyat oleh Belanda ini dilindungi dengan kekuatan tentara.
Cara ini dijalankan oleh kompeni dan kekuasan Belanda sesu-
dah itu. Baru pada pertengahan abad ke-19 berangsur-angsur
penghapusan peraturan monopoli dijalankan. Penghapusan
tanaman paksa tembakau dan nila pada tahun 1865. Pengha-
pusan monopoli cengkeh pada tahun 1869. Penghapusan
monopoli lada dan pala 9 tahun kemudian sesudah itu.
Disamping cara pemungutan paksa dan monopoli yang
dijalankan kompeni dan Pemerintah Kolonial selanjutnya,
Belanda menjual tanah-tanah secara besar-besaran dengan
hak eigendom pada pembelinya, yang pembelinya, yang ber-
nama “tanah partikelir” di mulai sejak permulaan abad 17.
Dengan pengumuman 18 Agustus 1620, diberikanlah tanah
percuma kepada orang asing, dengan memberi kewajiban
menyetorkan sebagian hasilnya. Pada waktu Daendels sangat
kekurangan uang untuk Pemerintahnya, dia menjual tanah-
tanah kepada orang partikelir.
Harga tanah itu tidak selamanya dapat diterima dengan
tunai. Banyak juga dengan jalan diangsur. Umpamanya terjadi
dengan pembelian “tanah Probolinggo” oleh seorang Tiong-
hoa, dengan harga 1.000.000 rupiah, dengan perjanjian dapat
diangsur pembayarannya dua puluh kali. Karena Daendels
memerlukan uang dengan segera, dia mengeluarkan uang ker-
tas dengan nama “Probolinggo-papier” dengan tanggungan
312

