Page 177 - Keistimewaan Yogyakarta yang Diingat dan yang Dilupakan
P. 177
Keistimewan Yogyakarta
kolonial, modern, feodal, nasional, ataukah adat, maka bab
ini akan berusaha melihat dari sekian sistem itu mana yang
lebih memberi jaminan rakyat terhadap akses atas tanah,
berdasarkan pengalaman yang terjadi di Yogyakarta. Kuat dan
mudahnya jaminan itu akan memberi nilai keistimewaan
tersendiri bagi Yogyakarta.
B. Mengapa Tanah Milik Raja?
Konsep ‘tanah adalah milik raja’ diyakini berasal dari masa Jawa
pra-Hindu. Meski Keraton Kesultanan Hadiningrat dan
Kadipaten Pakualaman di Yogyakarta notabene adalah kera-
jaan Islam (Mataram Islam), konsep semacam ini tetap ber-
tahan hingga sekarang. Raja sebagai poros dunia, yang men-
jaga keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos adalah
penguasa ‘jagad lembut’ dan ‘jagad kasar’, yang kasat mata dan
material. Semuanya terejawentahkan baik dalam teks-teks
1
kesusastraan, petatah-petitih, hingga ruang simbolik kota, dll.
Secara aktual, kerajaan (raja, keluarga dan para pungga-
wanya) tidak menguasai tanah dalam pengertian berapa
luasnya, tetapi menguasai cacah (orang yang mendiami di
atasnya). Luasan tanah yang dikuasai berdasarkan klaim dan
penaklukan. Bila seseorang menerima tanah seluas 800 cacah
misalnya, artinya ia menerima tanah seluas yang cukup diga-
rap oleh 800 keluarga petani. Sistem apanage dan kabekelan
mencerminkan struktur penguasaan semacam ini. Tingkat
kemakmuran seorang punggawa kerajaan diukur dari sebe-
rapa banyak orang yang dikuasai untuk mengolah lahan dan
1 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Warisan Kerajaan-Kerajaan
Konsentris, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 60.
154

