Page 55 - Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidakadilan Agraria
P. 55
1. Pengelolaan Air
Pengelolaan air dalam Islam dilakukan berdasarkan banyaknya
jumlah air. Apabila air sangat melimpah seperti air sungai besar, atau
mata air yang telah dimunculkan Allah tanpa digali, maka setiap orang
mempunyai hak terhadapnya selama tidak merugikan orang lain. Apabila
air sungai itu sedikit, sehingga ia harus ditahan, terhadap hal itu Ubadah
bin Ash-Shamit meriwayatkan bahwa, “Rasulullah saw memutuskan
irigasi kebun kurma dari aliran air, bahwa tempat yang tinggi diberi irigasi
sebelum tempat yang rendah, kemudian ia mengirimkan air kepada
tempat yang rendah sesudahnya. Begitulah, hingga air sampai kepada
semua tanah” (HR. Ibnu Majah).
Pengelolaan terhadap air yang digali seperti air sumur maka ia
menjadi milik bersama jika penggaliannya dilakukan untuk umum.
Jika penggaliannya dilakukan untuk memanfaatkan airnya maka orang
yang menggali sumur dapat menggunakan sesuai kebutuhan, sisanya
dapat diberikan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan akan
menjadi milik umum jika ditinggalkannya. Apabila orang yang menggali
kembali lagi ke sumur tersebut, maka haknya sama dengan orang lain
untuk menikmatinya, dengan mendahulukan orang yang datang lebih
dahulu. Sementara untuk sumur yang digali untuk diri sendiri, maka
hal itu menjadi miliknya jika sumur yang digali mengeluarkan air, jika ia
melapisi sumur tersebut dengan batu, maka hal itu bagian dari usahanya
untuk memantapkan kepemilikannya. Hal tersebut sama halnya dengan
menghidupkan lahan mati.
Kewajiban untuk memberikan kelebihan air, maka lebih diutamakan
memberikannya kepada hewan dari pada kepada tanaman. Hal itu sesuai
dengan pendapat imam Syafi’i beserta para sahabatnya.
38 Islam dan Agraria