Page 58 - Islam dan Agraria: Telaah Normatif dan Historis Perjuangan Islam dalam Merombak Ketidakadilan Agraria
P. 58
tidak boleh. Mayoritas sahabat-sahabat Imam Syafi’i membolehkannya,
karena dengan memberi tanda dengan batu pada lahan mati tersebut, ia
menjadi lebih berhak memilikinya.
Oleh karenanya, jika mutahajjir telah menjual lahan mati tersebut,
kemudian lahan mati tersebut diambil alih orang yang menghidupkannya
dari pembelinya, maka Abu Hurairah, salah seorang sahabat Imam
Syafi’i berpendapat bahwa harga lahan mati tetap harus dibayar pembeli,
karena setelah dibelinya lahan mati tersebut mengalami kerusakan.
Sahabat-sahabat Imam syafi’i yang membolehkan penjualan lahan mati
tersebut berkata, “Harga lahan mati tersebut gugur dari pembeli, karena
penguasaannya atas lahan mati tersebut tidak bertahan lama.”
b) Lahan mati yang terlindungi dan fasilitas umum (al-Hima)
Rasulullah bersabda, “Tidak ada lahan yang dilindungi kecuali milik
Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari dan Ahmad). Hadist tersebut
menurut Al-Mawardi adalah bahwa tidak ada perlindungan lahan kecuali
seperti perlindungan lahan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk kepentingan
orang-orang miskin, untuk kepentingan seluruh kaum Muslimin.
Menurut Al-Mawardi, al-hima mempunyai sifat umum dan
khusus. Jika ia diperuntukkan bagi umum, maka semua masyarakat baik
orang kaya, miskin maupun kafir dzimmi mempunyai hak yang sama
terhadapnya. Jika ia khusus milik kaum muslimin, maka kafir dzimmi
tidak berhak atasnya. Jika ia dikhususkan bagi fakir miskin, maka orang
kaya, ataupun kafir dzimmi tidak berhak atasnya. Jika ia dikhususkan
untuk kuda-kuda para mujahidin, maka kuda-kuda lain tidak boleh
memanfaatkannya.
c) Pemberian tanah
Al-Mawardi mengungkapkan bahwa pemberian tanah yang
dilakukan oleh Khalifah dinyatakan sah jika tanah tersebut belum ada
pemiliknya. Pemberian tanah oleh imam terbagi dua yaitu pemberian
tanah dengan hak milik dan pemberian tanah dengan hak pakai.
Perjuangan Agraria dalam Sejarah Islam 41

