Page 54 - Perspektif Agraria Kritis
P. 54
Teori, Kebijakan, dan Kajian
guna menggantikan UU Kolonial (Agrarische Wet) 1870,
dinyatakan bahwa tujuannya, antara lain, adalah untuk
melakukan “unifikasi hukum”, agar tidak terjadi
“dualisme hukum”. Yang dimaksud dualisme hukum
adalah gejala adanya tanah-tanah yang atas tanah tersebut
berlaku dua macam hukum sekaligus yaitu hukum formal
dan hukum adat. Masalah ini sepertinya belum pernah
selesai dibahas secara tuntas, tahu-tahu sejak era
“Reformasi” muncul isu “pluralisme hukum”. Bagaimana
solusinya untuk mengatasi masalah ini, sampai sekarang
terasa belum begitu jelas.
Masalah dualisme hukum itu juga sudah menjadi
perhatian sejak jaman kolonial. Dan masalah itulah yang
melatarbelakangi lahirnya apa yang dikenal dengan
“Domein Verklaring” (Pernyataan “Domein”)
b) Makna “Domein Verklaring” jaman kolonial.
Jika diterjemahkan, pernyataan tersebut berbunyi: “Semua
tanah, yang tidak dapat dibuktikan bahwa hak atas tanah
tersebut adalah hak “eigendom” (hak milik mutlak),
maka menjadi tanah yang dikuasai negara”.
Sekarang ini ada generasi muda yang salah dalam
memahami makna Domein Verklaring itu. Ada dua hal
yang perlu dijelaskan:
Pertama makna “hak eigendom”. Oleh almarhum Prof. Dr.
Soekanto (ahli hukum adat), istilah tersebut diterjemahkan
sebagai “hak milik mutlak”, yaitu hak yang tidak dapat
diganggu gugat bahkan oleh negara sekalipun. Pemerintah
kolonial berkepentingan untuk dapat memperoleh tanah-
tanah tertentu yang bebas.
Kedua, UUPA-1960 menghapus jenis hak eigendom, karena
bagi bangsa Indonesia “tanah mempunyai fungsi sosial”.
Jadi hak-milik-mutlak itu dicoret oleh UUPA. Di sisi lain,
diperkenalkannya “hak menguasai oleh negara” itu bukan
liii

