Page 39 - Politik Kelembagaan Agraria Indonesia: Jalan Terjal Pembentukan Kelembagaan dan Kebijakan Agraria, 1955-2022
P. 39

Politik Kelembagaan Agraria Indonesia

                          gugat dinyatakan dengan keras oleh Sukarno, “-… maka
                          sesudah Undang-undang  Agraris  dan  Undang-undang
                          Tanaman Tebu de Waal di dalam tahun 1870 diterima baik
                          oleh Staten-Generaal di negeri Belanda, masuklah, modal
                          partikelir itu di Indonesia, mengadakan pabrik-pabrik gula
                          di mana-mana, kebun-kebun teh, onderneming-onderne-
                          ming tembakau dan sebagainya ditambah lagi modal parti-
                          kelir yang membuka macam-macam perusahaan tambang,
                          macam-macam perusahaan kereta-api, trem, kapal, atau
                          pabrik-pabrik yang lain. Imperialisme  tua makin lama
                          makin layu, imperialisme-modern menggantikan tempat-
                          nya,–cara pengedukan harta yang menggali untung bagi
                          negara Belanda itu, makin lama makin berubah, terdesak
                          oleh  cara  pengedukan baru  yang  mengayakan  modal
                          partikelir”  (Sukarno, 2003).

                              Begitu juga dengan asas domein verklaring yang dite-
                          tapkan dalam besluit telah menghilangkan hak-hak tanah
                          rakyat,  karena  menjalankan prinsip  domein  verklaring
                          sebagai hak pemerintah (eigendom), padahal bukan demi-
                          kian  tujuannya,  melainkan  menata  persoalan  tanah
                          (Vollenhoven,  2013).  Belum  lagi  pada  periode  jauh
                          sebelum agrarische wet-1870 dan cultuurstelsel-1830, telah
                          dipraktikkannya sistem tanah partikelir menjadikan rakyat
                          Hindia  Belanda sebagai budak  di dalam  “rumahnya”
                          (Breman, 2014; Luthfi, 2015). Sukarno tidak berhenti pada
                          protes  dengan slogan  “Indonesia  Menggugat”,  tetapi
                          melakukan upaya pengkajian dan pendalaman terhadap
                          inti persoalan  pasca Indonesia  merdeka,  yakni dengan
                          membentuk Kepanitiaan Agraria (Panitia Agraria Jogja)

                                                                               3
   34   35   36   37   38   39   40   41   42   43   44