Page 332 - Problem Agraria, Sistem Tenurial Adat, dan Body of Knowledge Ilmu Agraria- Pertanahan (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2015)
P. 332
Senthot Sudirman, Dian Aries Mujiburrohman, Theresia Suprianti
314
negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1), kepemilikan aatau
Hak Atas Tanah dari Pihak yang Berhak menjadi hapus dan alat bukti
haknya dinyatakan tidak berlaku dan tanahnya menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh negara”. Setelah itu dilanjutkan dengan menerapkan Pasal 48
ayat (1 dan 2). Artinya, setelah konsinyasi dan dilakukan serah terima hasil
pengadaan tanah dari Lembaga Pertanahan ke Pemerintah, Pemerintah
berhak memulai melaksanakan kegiatan pembangunan.
Tidak adanya Key Performance Indicator (Indikator Kinerja Kunci)
bagi pelaksana pembebasan lahan, mulai dari anggota Panitia Pengadaan
Tanah (P2T) tingkat daerah hingga Tim Pengadaan Tanah (TPT) tingkat
pusat, menyebabkan mereka bekerja lambat karena semakin lama mereka
bekerja, insentifnya makin banyak. Keadaan ini akan digunakan sebagai
modus untuk memperpanjang proses penyelesaian pembebasan tanah
utuk memperoleh insentif yang lebih besar. Masalah ini dapat diatasi
dengan membuat Key Performance Indicator tersebut. Hal ini tampaknya
telah dimulai dengn telah ditetapkannya determinasi waktu penyelesaian
untuk setiap langkah dalam pembebasan tanah (lihat UU No.2 tahun 2012
dan PerkaBPN RI No. 5 Tahun 2012).
Ketidak sesuaian antara data luas tanah dalam sertipikat atau alas hak
lain yang diyakini oleh pemilik dengan luas tanah hasil pengukuran baru
yang dilakukan oleh petugas ukur Kantor Pertanahan. Hal ini disinyalir
disebabkan oleh ketidak akuratan pengukuran tanah yang dilakukan oleh
juru ukur lama yang digunakan sebagai dasar pembuatan sertipikat tanah.
Hal tersebut pada gilirannya akan merembet pada sulit dan alotnya proses
terciptanya kesepakatan besarnya nilai ganti rugi tanah yang bersangkutan.
Kondisi demikian dirasakan sangat umum terjadi dan hampir terjadi untuk
seluruh bidang-bidang tanah yang akan dibebaskan. Masalah ini dapat
diselesaikan dengan cara menetapkan bahwa luas tanah yang digunakan
sebagai dasar pembayaran besarnya uang ganti rugi adalah luasan hasil
pengukuran yang dilakukan oleh Tim pengukuran pada saat pembebasan
tanah dilakukan (luas nyata di lapangan). Namun demikian, hal ini perlu
disampaikan dan perlu disepakati sebelum pengukuran dilakukan. Jika hal
in tidak dapat menyelesaikan masalah, maka dapat diselesaikan dengan
menggunakan dasar Pasal 42 ayat (1-2) UU No. 2 Tahun 2012.
Permasalahan lain yang berkaitan dengan kondisi pengukuran
tersebut adalah belum diketahuinya nama-nama pemilik tanah yang
diukur, sehingga masih memerlukan waktu pelacakan yang terkadang

