Page 3 - Microsoft Word - AA. Navis - Rubuhnya Surau Kami _Kumpulan Cerpen_
P. 3
Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata
Ompi berlinang kegembiraan. "Ah, Anakku," katanya pada diri sendiri, "Aku bangga,
Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu. Dengan
begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan
kukirim, Anakku. Mengapa tidak?"
Dan semenjak itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti
calon pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi semua orang tahu,
bahkan tidak menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpi
semata. Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak
hendak percaya. Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan
yang di capai anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan
segala akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan
nama baik anaknya.
"Sekarang kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi ayah mengerti,
kalau mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng.
Cepat-cepatlah kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu,"
tulisnya dalam sepucuk surat.
Dan akhirnya orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi membicarakan Indra
Budiman padanya. Malah sebaliknya kini, semua orang seolah sepakat saja untuk
memuji-muji.
"Ooo, anak Ompi itu. Bukan main dia. Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di
rumah," kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi.
"Ke sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa tersinggung. "Kalau studen tidak
menghafal, tahu? Tapi studi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah."
"O, ya, ya, Ompi. Itulah yang kumaksud."
"Aku sudah kira Indra Budiman, anakku anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga sekali.
Ah, kau datanglah ke rumahku makan siang. Aku potong ayam."
Dan oleh perantau pulang lainnya dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia.
Indra Budiman. Seluruh Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap cintanya."
Lalu Ompi geleng-geleng kepala dengan senyumnya. "Bukan main. Bukan main. Indra
Budiman anakku itu. Ia memang anak tampan. Perempuan mana yang tak tergila-gila
kepadanya. Ha ha ha. Ah, datanglah kau ke rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu."
Kemudian kalau Ompi ketemu gadis cantik yang di kenalnya, ditegurnya: "Hai,
kaukenal anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan
padamu. Biar kau dipinangnya. Ha ha ha."
Si gadis tentu saja merah mukanya, karena merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi,
muka merah itu karena malu tersipu. Dan ia jadi tambah gembira.