Page 237 - Seribu Alasan untuk Mati Hari Ini dan Kumpulan Cerpen
P. 237
permohonan grasi. Aku hanya diam, memberinya ruang
dan waktu untuk berkeluh.
Aku mengamati tangisan seorang ibu, merengek,
mengumpat akan kebodohan anaknya, membiarkan
setiap bulir air matanya membasahi wajahnya, tangannya,
juga baju yang dikenakannya.
Aku mencoba diam saja, memastikan curahan emosi yang
meluap dari kesedihannya itu terlampiaskan dengan baik,
dan di satu titik, fisiknya yang lelah akan membuatnya
merasakan ketenangan yang tidak terlukiskan, otaknya
akan memerintahkan air mata itu berhenti seketika.
Demikianlah tangisan, seperti sebuah lagu, mengalun,
naik atau turun, terserah apa jenis musiknya, lalu ia akan
berakhir. Yang tersisa hanya keheningan.
“Kenapa, nak? Kenapa kamu tidak lagi ingin
memperjuangkan hidup kamu? Hancur hati ibu, nak!
Hancur!”
“Bu, apa ibu tega membiarkan aku hidup dengan rasa
bersalah seumur hidupku?” tanyaku.
“Karena kamu sudah membunuh, nak? Tidakkah Tuhan
itu pemaaf, anakku? Tidakkah kamu menyesal, dan
nyawa mereka tidak berarti harus kamu tebus dengan
nyawamu sendiri, nak? Hukuman matimu bisa saja
berganti penjara, nak!”
“Tapi itu tidak akan pernah merubah kenyataan kalau aku
sudah membunuh, ibu,” jawabku dengan tenang.
235

