Page 7 - 1. Modul Bab 9_Neat
P. 7
menuntut reshoffle kabinet. Kemudian timbul kekuatan lain yang dipimpin Tan
Malaka dalam bentuk Gerakan Revolusi Rakyat (GRR) yang berusaha
mengimbangi FDR, untuk kepentingan politiknya sendiri.
Sementara keadaan begitu gawat, pada bulan Agustus 1948, Muso, seorang
tokoh PKI yang lari ke Moskow sejak tahun 1926, kembali ke Yogyakarta. Muso
membawa politik baru dari Rusia, yaitu agar parta-partai yang beraliran Marxisme
disatukan menjadi PKI. Pada akhir bulan Agustus itu juga partai sosialis dari Amir
Syarifuddin dan Partai Buruh disatukan menjadi PKI. Partai ini dipimpin oleh Muso.
Taktik perjuangan yang digariskan dari Moskow adalah melawan golongan
nasional maupun kolonial (Belanda). Rapat-rapat raksasa mulai dilakukan untuk
menyebarkan sikap ini.
Pada taraf pusat, FDR yang dipimpin PKI itu menentang rasionalisasi tentara,
yaitu penyatuan tentara Republik Indonesia dengan laskar-laskar menjadi Tentara
Nasional Indonesia. Pihak PKI ingin tetap memelihara laskar- laskarnya untuk
mengimbangi tentara. Kabinet Hatta tetap tidak tergoyahkan dan mendapat
dukungan Masyumi, PNI dan, Laskar seberang (KRIS, IPR, SRSK) yang dipimpin
J. Latuharhari.
Keadaan mulai meruncing di Solo, daerah yang banyak dikuasai unsur- unsur
FDR. Pada tanggal 18 September 1948 PKI memproklamasikan Republik Soviet
Indonesia di Madiun. Pemberontakan Madiun dimulai. Kolonel Djokosuyono
diangkat oleh PKI menjadi “Gubernur Militer” dan Kolonel Dahlan menjadi
komandan Komando Pertahanan di Madiun. Muso mulai melancarkan serangan-
serangan politik terhadap kabinet Hatta melalui pemancar radio Madiun.
Pemerintah bertindak tegas. Pasukan TNI dikerahkan secara besar- besaran
pada tanggal 20 September 1948 dan pada tanggal 30 September, Kota Madiun
dapat direbut kembali. Pertempuran dilanjutkan sampai Muso tewas dan Amir
Syarifuddin tertangkap. Meskipun demikian banyak pemimpin PKI yang
meloloskan diri ke daerah pendudukan Belanda, antara lain D.N. Aidit.
Sementara masalah PKI belum teratasi, Belanda melakukan Agresi II pada
tanggal 19 Desember 1948. Dalam serbuan ke Yogyakarta, Presiden dan Wakil
Presiden tertangkap oleh Belanda. Meskipun begitu Pemerintah berhasil
mengirimkan telegram kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat
agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sementara
Panglima besar Sudirman masih terus bergerilya. Sebulan setelah serangan
Belanda, TNI berhasil mengadakan konsolidasi. Perang gerilya dilancarkan
dengan cara menghadang garis komunikasi logistik pasukan Belanda,
memutuskan telepon, dan merusak jalan kereta api. Belanda dapat menguasai
kota-kota besar di Jawa dan Sumatera tetapi daerah pedesaan tetap berada
dalam tangan RI. Rakyat dikerahkan untuk membantu TNI dalam hal intel,
6