Page 35 - Buku Emeritasi Pdt Daniel Budijono
P. 35

Terima Kasih Mas Daniel



                                 Pertama kali saya berjumpa dengan Pdt. Daniel adalah
                         di kampus, Fakultas Teologi  UKDW Yogyakarta, tahun 1994.
                         Saat  itu  saya  adalah  mahasiswa  tahun  pertama  di  asrama.
                         Pdt.  Daniel,  yang  saya  sapa  'mas  Daniel',  kakak  kelas  dua
                         tahun  di  atas  saya,  saat  itu  nampak  sangat  dewasa  di  mata
                         saya.  Suara  yang  cukup  berat  dan  dalam,  gerak  tubuh  yang
                         lincah, postur tubuh yang tinggi (terutama kalau dibandingkan
                         dengan  saya)  dan  belakangan  ditambah  informasi  bahwa  dia
                         adalah mahasiswa asal GKI, Sinode yang sama dengan saya,
      membuat  otak  remaja  saya  waktu  itu  memerintahkan  diri  untuk  'hormat  grak'.
      Bersikapkah lah baik dan sopan pada kakak kelas yang satu ini.
      Maklum pada saat itu kan program inisiasi mahasiswa baru selalu bersifat feodal dengan
      beragam kegiatan 'gojlokan' yang intinya meminta setiap mahasiswa baru untuk hormat
      pada kakak kelas di asrama, apalagi yang sudah di luar asrama seperti mas Daniel itu.
      Tidak  sedikit  saya  berjumpa  dengan  kakak-kakak  kelas  yang  memandang  dan  bicara
      dalam perjumpaan pertama dengan nada ketus dan galak yang menakutkan. Tidak ada
      pilihan lain, hormati semua kakak kelas.
              Tapi barangkali itulah hal salah, yang pernah saya lakukan pada mas Daniel.
      Di tengah beberapa kakak kelas lain yang memilih untuk memainkan peran galak, maka
      mas  Danel  lebih  senang  memainkan  peran  sebaliknya,  peran  yang  menyapa  dengan
      baik  dan  menenangkan.  Saya  tidak  takut  padanya,  saya  juga  tidak  terpaksa
      menghormatinya, melainkan saya respek. Komunikasi pertama yang mas Daniel lakukan
      bukan  ancaman  atau  kemarahan  ala  'gojlokan'  seperti  yang  saya  bayangkan,  tetapi
      berkaitan dengan pelayanan, yaitu mengajak saya dan beberapa mahasiswa baru yang
      ada di asrama untuk ikut serta membantu mengajar anak-anak Sekolah Minggu
      di GKI Ngupasan.
      Di  situlah  relasi  dan  komunikasi  kami  dimulai  dan
      berlanjut  dalam  kehangatan.  Saya  melihat  mas  Daniel
      dengan  rendah  hati  menjemput  kami  beberapa
      mahasiswa  baru  di  asrama  Klitren,  Yogyakarta  setiap
      hari Minggu pagi untuk kemudian bersepeda bersama ke
      GKI  Ngupasan.  Relasi  dan  komunikasi  yang  kemudian
      menjadikan  saya  banyak  belajar  dan  membangun
      pelayanan   gerejawi   dalam   kesederhanaan   tetapi
      menggembirakan.  Sampai  saat  ini  kemudian  kami
      masing-masing   telah   memiliki   tugas   dan   peran
      pelayanan yang lebih luas sebagai pendeta
      di Gereja Kristen Indonesia (GKI).

               Cerita di atas adalah kenangan sederhana tetapi yang berkesan. Bagi saya setiap
      orang dapat mengambil peran apapun, tetapi yang menarik adalah bagaimana peran itu
      menghadirkan relasi dan komunikasi yang menumbuhkan dan berguna bagi orang lain
      bahkan  kehidupan  yang  lebih  luas.  Jaman  sekarang  relasi  dan  komunikasi  sering
      dianggap bukan masalah. Alat dan teknologi komunikasi memungkinkan setiap orang
      di setiap penjuru dunia untuk terhubung secara mudah.
                                                               Halaman 33
   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40