Page 60 - E-Majalah Kriyasadana Edisi 4
P. 60

CERPEN









               Anggukan diberikan Senandika sebagai                 Menurutnya panggilan itu terlalu

            balasan keingintahuannya.                            berat untuknya, sangat tidak sesuai
                                                                 dengan sifatnya.
                “Karena, dulu ibu bilang aku lahir
            disaat hujan tiba. Akupun selalu                        Namun, saat suara lembut itu

            mengartikan hujan sebagai luapan                     menginfasi indra pendengarannya,
            perasaan, orang-orang selalu bisa                    sayup-sayup ia merasakan hangat
            mengekspresikan diri dan perasaannya                 yang menjalari dadanya dan disertai
            ketika hujan”.                                       dengan degupan ringan juga
                                                                 senyum yang selalu ia umbar.

               Senandika lagi-lagi hanya mengangguk
            mendengar pernyataan yang sebenarnya                    Senan, entah mengapa setiap ia
            tidak ia mengerti sepenuhnya itu.                    mengingat nama panggilan itu,

            Tangannya waktu itu sedang sibuk                     sesak rasanya tidak dapat ia
            memegang gawai dan juga mata yang                    bendung lagi. Jika saja dulu ia tidak
            selalu fokus melihat game yang tengah ia             egois, mungkin panggilan itu masih
            mainkan, tanpa peduli jika sosoknya                  disematkan padanya. Suara itu akan

            tengah ditatap sendu oleh sosok lain                 selalu memanggilnya dikala mereka
            disampingnya.                                        hanya berdua. “Aleeya, untuk
                                                                 pertama kalinya. Aku rindu kamu”

               Sekarang, jangankan bercengkrama                  bisiknya pada udara kosong.
            atau hanya mendengar suaranya,
            melihat wujudnya saja mustahil.
            Senandika hanya mampu memupuk rasa
            rindu yang sekirannya sudah setinggi

            dan sebesar gunung jika ia ilustrasikan.
            Panggilan langka yang dulu disematkan
            oleh dia, kini tidak pernah terdengar

            menyapa indra pendengarannya lagi.


               Sejujurnya, Senandika agaknya selalu
            merasa keberatan jika dipanggil Senan.










                                                             E-Majalah                               Edisi 4 60
                                                                                         D
                                                                                       A
                                                                                           A
                                                                                               A
                                                                                             N
                                                                                     S
                                                                              R
                                                                            K
                                                                                I
                                                                                   A
                                                                                 Y
   55   56   57   58   59   60   61   62   63   64   65