Page 35 - KLIPINGBPPT26032019 (Pagi)
P. 35
perlu dikaji kembali. Pasalnya, dalam perpres ada aturan bahwa, yang membeli listik hasil PLTSa adalah PLN, di dalamnmya juga diatur besaran harga listrik yang nantinya akan dibayarkan PLN kepada pengembang PLTSa. Banyak aturan yang memperlambat terwujudkan teknologi pengelolaan sampah ini. Tipping Fee atau dana bantuan pemerintah pusat yang diberikan ke pemerintah daerah dalam pengembangan PLTSa juga jangan dijadikan konsep sampah sebagai aset negara.
Dalam perpres diatur, pendanaan pengembangan PLTSa salah satunya bersumber dari APBN yang dikucurkan, yakni sebesar Rp 500.000 per ton sampah.
"Yang semacam ini harus dikaji ulang, kita harus pikirkan sampah hari ini. Jangan anggap sampah sebagai aset negara, sampah mau dibakar saja harus harus dihitung rupiahnya ini kan masalah," kata Mohammad Nasir tegas.
Mohammad Nasir mengatakan, sekarang yang harus dipikirkan bagiamana cara membersihkan menghilangkan sampah yang ada. "Tadi juga saya sampaikan ke pak Menko ubah konsepnya," sambungnya.
Untuk itu Mohammad Nasir mengapresiasi Badan Pengkajian dan Penelitian Teknologi (BPPT) yang cepat merealisasikan pilot project PLTSa di Bantargebang ini. Sehingga bisa menjadi proyek percontohan nasional. "Bagus tidak sampai satu tahun selesai. Kalau ini sudah berjalan, saya minta BPPT ajukan ke Kementerian Perindustrian agar bisa disertifikasikan dan masuk ke e-katalog," ujar Mohammad Nasir. Jadi, wali kota atau bupati yang mau gunakan tinggal pesan tidak perlu lelang lagi. "Ini kan yang membuat proses lama juga," kata Mohammad Nasir.