Page 11 - KLIPINGBPPT0782019PAGI
P. 11
Muara Karang PT PJB menyalurkan tenaga listrik untuk kawasan VVIP seperti Istana Negara dan perkatoran pemerintahan. UP MKR dikelola oleh Anak Perusahaan PLN yaitu PT PJB (Pembangkitan Jawa Bali) yang memiliki total kapasitas 1.600 MegaWatt (MW).(KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG) Jakarta Post, Jumat (27/05/2016) menulis, diperkirakan pada 2019 defisit pasokan gas PLN mencapai 1.081 BBTU per hari. Angka ini diproyeksi mencapai dua kali lipat dan melampaui 2.000 BBTU per hari pada 2026. Kondisi tersebut jelas menjadi tantangan tersendiri karena sebagian besar pembangkit listrik milik PLN di Indonesia masih berbahan bakar fosil, yaitu batu bara, minyak dan gas (migas). Statistik Ketenagalistrikan Tahun 2018 yang dirilis Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Enerdi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, dari 41,720.92 MW listrik yang PLN hasilkan pada 2017, hanya 979,35 MW berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar non fosil. Di sisi lain cadangan energi fosil Indonesia pun lama-lama makin merosot. Kementerian ESDM mencatat, saat ini cadangan batu bara kita sekitar 7,3 – 8,3 miliar ton dan diprediksi akan habis pada 2036. Baca juga: Produksi Migas RI di Semester I 2019 Tak Capai Target Sementara itu, cadangan minyak saat ini sebesar 4,7 milliar barrel diproyeksi akan habis pada 2028. Untuk bahan bakar gas, cadangannya mencapai 151,33 triliun cubic fee (TCF) dan diprediksi ludes pada 2027. Sebenarnya kemerosotan tersebut sudah terlihat dari produksi migas yang terus melamban. BP Statistical Review mencatat produksi minyak bumi Indonesia pada 2018 hanya 808.000 barrel per hari, sedangkan konsumsinya 1.785.000 barrel per hari. Bandingan dengan 10 tahun lalu, ketika itu produksi minyak mencapai 1.003.000 barrel per hari, sedang konsumsinya 1415.000 barrel per hari. Jomplangnya produksi dan kebutuhan minyak dalam negeri membuat pemerintah harus melakukan impor minyak untuk menutupi defisit. Bagaimana dengan gas? BP Statistical Review mencatat produksi gas Indonesia pada 2018 mencapai 73.3 billion cubic meter (BCM), sementara pemakaiannya 39.0 BCM. Adapun pada 2010 produksi gas mencapai 87.0 BCM dan konsumsinya 44.0 BCM. Baca juga: Jonan: Indonesia Tidak Akan Impor Gas Kenaikan produksi hanya terjadi di batu bara. Pada 2018 produksi bahan tambang ini tercatat 323.3 juta ton, sedangkan konsumsi 61,6 juta ton. Angka ini naik dibandingkan 10 tahun yang hanya 162.1 juta ton dan konsumsinya 39,5 juta ton. Meski terjadi kenaikan, seperti yang sudah disinggung di atas, cadangan batu bara di Indonesia terus menurun, sehingga membahayakan bagi ketahanan energi nasional. Subsidi energi Selain menurunnya cadangan migas dan batu bara, masalah lain yang dihadapi negeri ini adalah soal subsidi energi. Pemerintah hingga saat ini masih mengalokasikan dana subsidi energi (BBM, LPG dan Listrik) pada Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Seperti diketahui, APBN Indonesia berkali-kali pernah jebol akibat subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak (BBM). Contoh pada APBN 2012. Saat itu, subsidi BBM dianggarkan Rp 123,599 triliun. Namun, dalam perjalanannya karena harga minyak dunia melonjak, pemerintah menaikkan anggaran subsidi BBM jadi Rp 137,379 triliun. Baru dalam 4 tahun ke belakang pemerintah mulai mengurangi subsidi BBM dari Rp 46,79 triliun (2014) menjadi Rp 14,90 triliun (2015), Rp 14,90 triliun (2016), dan Rp 7,15 triliun (2017). Ilustrasi SPBU Pertamina. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO) Penurunan itu kemudian berdampak secara keseluruhan terhadap subsidi energi. Pada 2015 misalnya subsidi energi turun jadi Rp 119,1 triliun, setelah pada 2014 mencapai Rp 341,8 triliun. Setelah