Page 12 - KLIPINGBPPT0782019PAGI
P. 12

tahun 2015, pemerintah menjaga alokasi subsidi energi dikisaran Rp 100 triliun hingga tahun 2018. Alokasi subsidi energi yang ditetapkan dalam APBN 2018 adalah Rp 97,6 triliun. Namun sayang dalam realisasinya, subsidi energi pada 2018 kembali naik. Seperti dimuat Kompas.com, Jumat (4/1/2019), realisasi subsidi energi tahun lalu Rp 153,5 triliun. Angka itu melonjak 36,4 persen atau Rp 55,9 triliun dari realisasi subsidi energi tahun 2017 sebesar Rp 97,6 trilun. Kenaikan terbesar berasal dari subsidi BBM dan LPG yang mencapai Rp 97 triliun. Baca juga: Lampaui Pagu APBN 2018, Subsidi BBM dan Elpiji Rp 54,3 Triliun Adapun relisasi subsidi listrik menyentuh Rp 56,5 triliun atau meningkat 11,6 persen jika dibandingkan tahun 2017 sebesar Rp 50,6 triliun. “Lonjakan subsidi didorong faktor konsumsi elpiji 3 kilogram (kg) yang meningkat. Selain itu, juga karena meningkatnya subsidi BBM jenis solar yang naik dua kali lipat, dari Rp 1.000 menjadi Rp 2.000,” ujar Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM Djoko Siswanto. Nah, jika keadaan seperti itu dibiarkan maka tidak menutup kemungkinan APBN Indonesia di masa mendatang akan kembali jebol, sehingga bisa membahayakan RI. Energi alternatif Permasalahan pelik kebutuhan energi nasional sebenarnya bukanlah tanpa solusi. Pasalnya, kini sudah ada energi alternatif pengganti fosil, yakni renewalable energy atau energi baru terbarukan (EBT). Apalagi potensi EBT di Republik ini sangatlah besar. Kompas.com, Jumat (2/2/2019) memberitakan, potensi EBT di Indonesia mencapai 325 giga watt (GW). Rinciannya energi air (hidro) 75 GW, panas bumi (geothermal) 17 GW, tenaga matahari (surya) 200 GW, dan biomassa 33 GW. Sementara itu, menurut data dari Badan Energi Terbarukan Internasional, Indonesia berpotensi menghasilkan 716 GW energi dari solar photovoltaic (solar PV), hydropower, bioenergi, geothermal, tenaga gelombang laut, dan angin Energi terbarukan.(Thinkstock) “Potensinya sangat besar dan masih banyak yang belum digarap,” kata Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar. Meski begitu, pengembangan EBT saat ini mengalami kendala karena menghadapi banyak tantangan. Mantan Direktur Utama PT Pertamina yang sekarang menjadi Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto, membeberkan 3 tantangan dalam memaksimalkan EBT. Pertama, sumber daya manusia (SDM) lokal Indonesia belum penuh menguasai teknologi pembangungan dan pengelolaan EBT. Kedua, adanya social barrier atau penolakan dari masyarakat. Misalnya banyak orang mengira Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) akan merusak hutan lindung dan sebagainya. "Padahal adanya PLTP malah melindungi alam sekitarnya," ujar Dwi seperti dirilis Kompas, Jumat (28/12/2016). Baca juga: Pertamina: Ini 3 Hambatan Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Ketiga, terkait harga. Dwi mengatakan, saat ini harga energi fosil sedang rendah, sementara EBT cenderung lebih mahal karena biaya investasi yang tinggi. Itu terjadi lantaran saat ini tingkat bunga perbankan dalam negeri untuk investasi sektor EBT mencapai 10-11 persen. Akibatnya, pengusaha kurang berminat dengan rate of returns sekitar 14 persen. Tantangan lain datang dari kondisi geografis dan iklim di Indonesia. Langit Indonesia yang kadang kala tertutup awan, terlebih pada musim penghujan membuat pemanfaatkan energi surya jadi kurang maksimal. “Untuk itu, perlu baterai buat menyimpan energi surya atau solar agar dapat digunakan pada malam hari,” ujar Achandra. Kendaraan bertenaga listrik Langkah lain untuk membawa Indonesia menuju kemandirian energi adalah dengan serius menggarap kendaraan bertenaga listrik. Ini perlu dilakukan agar dapat mengurangi konsumsi BBM. Tidak berhenti sampai


































































































   9   10   11   12   13