Page 6 - KLIPINGBPPT15022019 (pagi)
P. 6
Anggaran 0,02 persen dari PDB tersebut tentu terbilang minim dan sangat kecil bila dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk di Asia. Seperti Malaysia yang kini sudah mencapai 1,25 persen, Singapura (2,20 persen), Cina (2,0 persen), Jepang (3,60 persen), dan Korea Selatan (4,0 persen).
Anggaran minim R&D sudah berlangsung bertahun-tahun. Sepertinya, persentase anggaran kian mengecil sejak masa reformasi.
Keberpihakan pemerintah bisa menjadi kata kunci pembeda dan penentu R&D. Bacharuddin Jusuf (BJ) Habibie, saat menjadi menristek 1978-1998 dan lalu menjadi presiden 1998-1999, terlihat jelas keberpihakannya. Sehingga, banyak industri strategis yang bermunculan dan mempunyai kualitas yang bagus.
Namun keberpihakan itu kurang ditopang undang-undang sebagai landasan. Sebab, jika sebuah program hanya bertumpu pada orang, maka program itu berisiko hilang seiring berakhirnya masa kekuasaan seseorang. Dan itulah yang terjadi dengan sektor R&D kita.
Persoalan ini sebenarnya sudah banyak dikeluhkan oleh para peneliti Tanah Air. Sudah menjadi rahasia umum. Hampir sebagian besar peneliti mengeluhkan minimnya dana riset sampai nasib hasil karya mereka yang hanya mentok pada purwarupa dan temuan mereka tak bisa dimanfaatkan lebih lanjut. Dengan kata lain, daya serap hasil R&D kita juga sangat rendah.
Penelitian-penelitian dari berbagai institusi riset pun menumpuk di ruang sunyi. Padahal, jika diaplikasikan, tentu akan sangat bermanfaat. Ini terjadi salah satunya karena industri masih berorientasi pada hasil penelitian asing atau yang lebih memprihatinkan adalah jika industri kita hanya menjalankan lisensi pihak luar.
Tak heran bila beberapa para peneliti kita memilih 'kabur' ke luar negeri atau malah mengejar-ngejar dana hibah penelitian dari asing. Tentu, masih banyak pula penelti yang mencoba bertahan dengan dana minim. Misalnya sejumlah peneliti di lembaga riset negara, semacam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Mereka tetap berjuang di tengah keterbatasan dan selalu berharap pemerintah lebih concern pada lembaga penelitian milik sendiri.
Sering saya jumpai peneliti di Indonesia yang masih militan memegang kata-kata atau pesan Habibie, "Sekecil apa pun hasil riset kita, itu milik anak bangsa sendiri, daripada beli paten ke negara lain, tetap punya orang lain, bukan milik kita sendiri."
Selain anggaran yang minim, sektor riset di Indonesia juga masih menghadapi persoalan lain. Negara kita memiliki rapor yang cukup buruk dalam bidang R&D. Tercatat dalam laporan Global Innovation Index 2017, dari 127 negara Indonesia menempati posisi ke-82. Singapura menduduki posisi tujuh besar, sementara Jepang di posisi ke-14, dan Korea Selatan berada di posisi ke-11.