Page 8 - KLIPINGBPPT08052019(SORE)
P. 8

Iya. Untuk pileg dan pilpres kemarin itu sebetulnya undang-undang sendiri, Undang- undang Pilpres yang disatukan dengan Undang-undang Pileg. Tadinya satu-satu kan, masing-masing. Undang-undang pilpres sendiri, Undang-undang pileg sendiri. Kemudian dua undang-undang itu disatukan. Pembahasannya itu awal 2017, itu pada saat masih RUU sudah termaktub semuanya menggunakan peralatan elektronik, untuk pemungutan, untuk menghitung, untuk rekapnya. Makanya Pansus Pemilu itu rapat pertama kali yang diundang adalah BPPT dan PT. INTI sebagai penyelengara pemasok perangkat yang mana hasil inovasi dari BPPT sudah dialihkan ke PT. INTI sebagai BUMN. Kami ke sana mendemokan ke DPR RI, kemudian bulan Maret mereka studi banding ke Jerman yang saat itu perangkatnya tidak ada struknya. Makanya pulang-pulang dari studi banding bulan Mei tiba-tiba menuliskan kembali "orang Jerman tidak lagi menggunakan e-voting karena mereka lebih suka bukti hukum manual". Dalam hati saya berpikir, kenapa dia lebih senang bukti hukum manual padahal kita ada. Struk itu kan bukti hukum manual, bahwa bukti hukum elektronik ada, bukti hukum manualnya juga ada. Memang saat itu di Jerman tidak ada makanya dia bisa bilang begitu.
Sejauh ini sudah ada empat kesiapan yang saya tangkap yaitu teknologi, penyelenggara, biaya, dan legalitas. Lantas apakah kesiapan yang terakhir?
Masyarakat. Masyarakat itu sudah dibuktikan. Dulu waktu kita sosialisasi e- votingpara elit yang mengatakan mana mungkin Indonesia pakai e-Voting. Masyarakat kita banyak yang gaptek (gagap teknologi /red). Ternyata itu tidak terbukti ketika sudah dilaksanakan di pilkades, justru itu dimudahkan masyarakatnya yang tinggal sentuh pakai jari. Jadi di TPS ga perlu perangkat apa-apa, emang kita harus mengenal komputer dulu baru bisa menggunakan e-voting? Kan tidak. Dia cuma lihat gambar kok, tinggal disentuh. Justru yang mungkin mereka katakan tidak siap karena perangkat-perangkat e-voting yang ada di dunia itu semuanya bentuknya terintegrasi, jadi satu, jadi masukin kartunya dari dalam bilik. Bayangkan kalau nenek-nenek masukin kartunya sendirian di dalam bilik, udah gemetaran kali masukinnya bagaimana. Kalau kami kan tidak, panitia di depan bilik sudah memasukkan. Kemudian struknya sudah terintegrasi. Kalau pemilih di Indonesia itu kan nanti yang dimasukkan struk yang mirip di Indomaret, bukan struk yang keluar dari perangkat e-voting. Makanya printer-nya kita letakkan di samping bilik itu yang membuat beda dan unik dengan e-voting di dunia. C1 nya bisa dicetak sebanyak-banyaknya sesuai hati kita, tinggal difoto terus di-upload. Proses e- voting itu selain dia cepat akurat kemudian juga memenuhi asas luber jurdil kemudian dia juga menghasilkan bukti hukum yang sah, baik bukti hukum manual atau bukti hukum elektronik. Jadi dokumen elektronik yang diupload sah menjadi bukti hukum manakala yang mengupload, darimana, oleh siapa, dan keabsahannya itu ada nama tandatangan digital dan watermark atas nama KPPS itu. Jadi seminggu atau satu hari sebelum pemilu setiap KPPS salah satu saja sudah apply sertifikat digital di handphone-nya.


































































































   6   7   8   9   10