Page 6 - KLIPINGBPPT08052019(SORE)
P. 6

standar kemanan tersebut tdak terpeuhi kami ya juga tidak menerapkan itu, benar-benar offline. Ketika TPS tutup, hasil keluar, itulah yang dikirim baru memerlukan koneksi internet, kirim sekali klik send, tayang sudah. Jadi benar-benar aman. Yang dikirim bukan hanya hasilnya saja, angkanya saja, yang nanti secara nasional itu terekapitulasi secara otomatis, per bilik berapa, per TPS berapa, per desa berapa, itu otomastis mereka hitung lagi. Itu angkanya yang terekapitulasi sehingga setiap tingkat dapat diaudit. Kenapa? Karena dari tiap-tiap TPS form plano atau kalau e-voting tidak ada lagi form plano. Form C1 yaitu hasil hitung rekapnya per TPS, itu langsung difoto upload dan yang mengupload adalah KPPS-nya sendiri dan ditandatangani digital oleh KPPS-nya dan ketika itu kita upload kemudian ada sengketa, maka dokumen itu bisa menjadi bukti hukum yang sah di pengadilan karena jelas siapa yang mengupload siapa yang menandatangani. Pemilu kita menjadi efisien, menjadi murah, karena mempertimbangkan sampai ke proses sengketa. Bahkan bukan hanya di proses pemungutan, di verfikasi pemilih itu juga kami lakukan menggunakan alat baca KTP elektronik yang disitu kemudian pemilih tidak bisa lagi ganda, memilih lebih dari satu kali. Pemilih fiktif ketahuan, dapat diaudit. Hasil pemilu yang sekarang form C7 itu absensi pemilih sering kali tidak sama sama hasilnya karena banyak yang double, mereka bisa memilih lebih dari satu kali. Di sistem kita, di aplikasi DPT kita ini, ketika file DPT itu diupload, katakanlah DPT nya 500, ketika diupload sering kali tidak 500 tapi kurang, 490 gitu. Kenapa? Ya karena ganda. Kalau ganda sudah tidak bisa masuk. Tapi DPT yang 500 tadi sudah sah jadi kami sudah beri tanda didalamnya, ini loh ganda. Jadi ketika ada yang datang dua kali sudah tidak bisa.
Kita dulu sempat berubah teknik dari menggunakan paku ke pulpen lalu mundur lagi ke pulpen. Lantas bagaimana cara BPPT ke tempat pemilihan di daerah terpencil. Banyak yang belum tersentuh teknologi. Dari BPPT sudah mempertimbangkan hal ini?
Sekarang ketika pilkades, pilkades tuh dimana? Pemilihan kepala desa itu tuh di dusun-dusun, di desa-desa, di gunung-gunung yang tidak ada listriknya. Tapi masyarakatnya bisa. Siapa mereka? Mereka masyarakat-masyarakat yang tidak sekolah, buruh karet, tidak sekolah, hidup di hutan bahkan suku anak dalam yang di Kabupaten Sarolangun itu bisa. Masalahnya gini, ketika Kabupaten Sarolangun banyak penduduk suku anak dalam, kemudian ada salah satu yang mantan suku anak dalam, kemudian dia mencalonkan jadi kepala desa, jadi dia punya kepentingan ke teman-temannya itu dimobilisasi yang mantan suku anak dalam ini untuk merekam KTP elektronik. Punya KTP dulu yang selama ini mereka disuruh merekam tidak mau, untuk apa funsgi KTP elektronik pada tidak mau. Tapi karena ini temannya dengan bahasa yang sama akhirnya mau. Bayangkan satu desa ada 25 suku anak dalam yang mereka mobilisasi untuk direkam dan pada hari H mereka mau mereka datang dan bisa. Tidak harus bergantung pada listrik PLN, pakai aki mobil bisa, pakai genset bisa. Tidak ada internet, infrastruktur internet? Kita bicara soal Indonesia ketika pengiriman saja kita butuh internet. Ketika beberapa desa tidak ada internet tidak apa-apa, perangkatnya dikirim dulu ke kecamatan baru di kecamatan dibuka kembali langsung dikirim dari kecamatan. Yang penting ngirimnya itu tidak


































































































   4   5   6   7   8