Page 16 - KLIPING BELMAWA (16 AGUSTUS 2019 - PAGI)
P. 16
Judul
Pantang Bicara Papua di ISBI Bandung
Media
Tirto
Terbit
16 Agustus 2019
Tone
Netral
Hal/link
https://tirto.id/pantang-bicara-papua-di-isbi-bandung-egmz
PR VALUE
Rp.0
Jurnalis
Alfian Putra Abdi
tirto.id - Daunjati, Lembaga Pers Mahasiswa dari Institut Seni Budaya Indonesia Bandung, sudah mempersiapkan segalanya demi kelancaran diskusi publik dengan tema situasi terkini Nduga, kabupaten di Papua tempat konflik bersenjata yang membikin puluhan ribu orang mengungsi terjadi. Diskusi juga akan membahas New York Agreement, perjanjian soal penyelesaian sengketa Papua Barat yang terjadi pada 15 Agustus 1962. Perjanjian ini melahirkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat)--yang dianggap menyalahi hukum internasional karena tidak dilakukan dengan cara satu orang satu suara. Lewat Pepera-lah Papua Barat resmi jadi bagian Republik Indonesia. Undangan diskusi sudah disebar. Wil Bib dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Kaemka dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dipastikan hadir sebagai pembicara. Yang perlu dilakukan tinggal menunggu orang-orang hadir di belakang Gedung Sunan Ambu, Rabu (14/8/2019) pukul 14.00. Tapi rencana tinggal rencana. Acara keburu dibubarkan. Setengah jam sebelum acara dimulai, panitia didatangi seorang perwakilan dari kemahasiswaan rektorat. Orang ini memerintahkan panitia dan semua pengurus Daunjati, yang jumlahnya tujuh orang, menghadap ke Rektor ISBI Een Herdiani. Permintaan itu ditolak. Pimpinan Umum LPM Daunjati sekaligus moderator diskusi Ridwan Kamaludin mengatakan jika ingin bicara, sebaiknya di ruang terbuka saja. "Kami usulkan di teras sekretariat LPM Daunjati," kata Ridwan kepada reporter Tirto, Kamis (15/8/2019). Baca juga: Detail Penangkapan dan Pembubaran Diskusi Aktivis KNPB di Papua Orang kemahasiswaan ini bersikeras. Dia beralasan ada organisasi masyarakat yang sedang menuju kampus hendak membubarkan paksa diskusi. Dengan pertimbangan keamanan Ridwan akhirnya setuju bertemu rektor di ruangannya. Ternyata dia dan pengurus LPM tidak cuma bertemu rektor. Di ruang rektor, kata Ridwan, juga ada lima polisi berseragam lengkap dan dua tentara. Polisi, tentara, dan rektor lalu meminta Ridwan menjelaskan isi diskusi. "Setelah itu polisi langsung menanggapi: 'diskusi yang kalian buat akan berdampak perpecahan NKRI, karena persoalan ini adalah persoalan internasional,' 'kamu tahu enggak, New York Agreement itu isu yang sangat sensitif. Itu bentuk bersatunya dan terpisahnya Papua dari Indonesia.'" Tidak lama kemudian tiga orang berkemeja putih bercelana hitam masuk. Belakangan diketahui mereka adalah anggota ormas yang dimaksud. Lalu mereka memotret wajah Ridwan dan semua panitia di ruangan, tentu tanpa izin. Rektor menyaksikan itu, dan, kata Ridwan, "seakan membiarkan." "Ini jelas-jelas tidak sesuai dengan perkataan kemahasiswaan sebelumnya, bahwa tujuan pembicaraan dilakukan di Gedung Rektorat agar pengurus aman dari serangan ormas." Kemudian polisi meminta rektor membuat surat yang isinya tidak mengizinkan diskusi. Rektor menyanggupinya. Sembari menunggu surat selesai, Ridwan meminta ke polisi, juga TNI, untuk membubarkan ormas yang sudah ada di halaman kampus. Baca juga: Duduk Perkara Pembubaran Acara Partai Rakyat Demokratik di Surabaya Instruksi langsung keluar. Seorang polisi memerintahkan seorang anggota ormas tadi, yang disebut-sebut sebagai "ketua kelompok", membubarkan anggotanya dan pulang. Mereka manut, keluar ruangan bersama