Page 30 - Nebula E-Magazine - Edisi Pertama
P. 30
Darurat Perisakan di Sekolah
oleh Amanda Hariyanti Putri, S.Pd.
Tulisan ini pernah dimuat pada kolom forum guru harian umum koran Pikiran Rakyat (PR)
Jawa Barat
erdasarkan data klaster pendidikan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia
B(KPAI), kasus bullying di Indonesia
jumlahnya relatif cukup tinggi.
Anak korban kekerasan di sekolah
(bullying) jumlahnya mencapai 122 kasus
(2016), 129 kasus (2017), 107 kasus (2018), 46
kasus (2019), dan 76 kasus (2020).
Sementara itu, anak yang jadi pelaku
bullying di sekolah yaitu 131 kasus (2016),
116 kasus (2017), 127 kasus (2018), 51 kasus
(2019), dan 12 kasus (2020). (sumber:
kpai.go.id). Di samping itu, tahun 2021 ada
1.138 dan hingga pertengahan tahun 2022 Selain itu, guru juga harus Suasana pendidikan yang
terdapat 226 kasus anak yang dilaporkan mampu menjadi fasilitator nyaman dan aman bisa
sebagai kekerasan fisik, psikis termasuk bagi siswa agar mereka diwujudkan dengan
perundungan memiliki rasa nyaman dan memperkuat kolaborasi tri
aman berada di lingkungan pusat pendidikan yakni
sekolah termasuk berani sekolah, keluarga serta
melaporkan jika ada masyarakat untuk
perilaku bullying meminimalisasi terjadinya
perilaku bullying sehingga
Sementara itu, upaya represif anak bisa lebih memaknai
dilakukan sebagai langkah hak dan kewajiban sebagai
pemberian sanksi terhadap warga sekolah serta
pelaku bisa dalam bentuk terwujudnya sekolah ramah
sanksi akademis berupa anak
skorsing atau proses
Kasus bullying yang terjadi di pembelajaran secara terpisah Secara prinsipil, perilaku
lingkungan sekolah tidak cukup bahkan melibatkan penegak bullying memberikan dampak
dihadapi dengan sebuah kecaman hukum jika kasus tersebut buruk terhadap korban dan
saja namun perlu upaya serius. Selanjutnya, upaya pelaku sekaligus. Anak yang
menjadi korban bullying akan
komprehensif baik secara preventif, kuratif sebagai langkah untuk terganggu secara mental dan
represif maupun kuratif. Upaya mengembalikan kondisi mental mengalami trauma yang
korban, serta meningkatkan
preventif, sekolah bisa menjalin kembali rasa percaya diri membekas sepanjang
kerjasama dengan pihak orangtua mereka. . hidupnya, terlebih lagi jika
maupun penegak hukum untuk mereka mendapatkan
sekolah
gencar menyosialisasikan mengenai Sejatinya, menciptakan harus kekerasan secara fisik, butuh
rasa
mampu
bahaya bullying, mengembangkan aman serta nyaman bagi waktu sampai kondisi bisa
pulih kembali. Tidak hanya
nilai-nilai toleransi, menghadirkan seluruh warga sekolah itu, pelaku bullying juga akan
program yang bisa mendorong khususnya anak. Bagaimana terganggu secara psikologis,
partisipasi siswa dalam kegiatan pun, anak berhak untuk menjadi bahan pembicaraan
sosial untuk membentuk kepekaan tumbuh dan berkembang orang, dikucilkan,
sosial terhadap sesama. sesuai dengan perkembangan pengasingan sosial apa lagi
usia sebagaimana mestinya jika kasus tersebut tersebar di
jejaring media sosial.
24