Page 82 - buku-Puisi
P. 82
82
Ada suara merdu seruling di suatu tempat (pasir ipis). Suara itu berada di antara
gundukan pohon-pohon pina. Selain suara seruling, disertai pula lagu yang menggema di
antara dua kaki gunung, Burangrang dan Tangkuban Perahu.
Di situ tampak pula butir-butir jamrut. Butir-butir itu berada di pucuk-pucuk
pepohonan dan di air yang tipis lagi menyelusur turun.
Juga ada tangga-tangga yang melingkar dan membelit di tanah merah. Tangga-
tangga itu tidak asing lagi bagi gadis-gadis dari bukit itu. Gadis-gadis itu menyanyi-
nyanyi apabila kentang sudah digali. Mereka mengenakan kebaya merah apabila pergi ke
pewayangan.
Di situ tampak pula butir-butir jamrut. Butir-butir itu berada di pucuk-pucuk
pepohonan dan di hati para gadis yang berhati jamrut..
Andai hanya bercerita seperti itu, tampaknya puisi tidak bermakna apa-apa.
Gambaran ceritanya juga tidak jelas. Dengan kata lain secara konvensi bahasa atau
makna lugas, puisi itu tidak berarti apa-apa. Artinya, penggunaan konvensi bahasa tidak
dapat dijadikan dasar untuk menemukan makna yang berarti atau signifikan. Untuk itu,
kita akan memulai pergulatan dengan konvensi budaya dan konvensi sastra, yakni untuk
mengenali kata, baris, dan bait, melalui wujud makna kias.
Bagaimanapun parafrase dapat menjadi pemahaman umum secara bahasa
terhadap puisi tersebut. Dari parafrase itulah kita dapat mengajukan berbagai pertanyaan
berkenaan dengan klasifikasi kata. Misalnya, dengan mengenali kata Burangrang-
Tangkubanprahu, interpretasi budaya dan sastra terhadap keseluruhan puisi dapat kita
lakukan. Secara geografis, nama itu berada di dataran tinggi Bandung Utara yang
memanjang ke arah timur Garut Jawa Barat. Daerah ini, selain untuk pelestarian