Page 23 - Bahan Ajar Ekonomi Kreatif
P. 23
Ibunda Hj Wirda Hanim tidak putus asa. Dia
mencoba membuat ulang motif kain lama di
atas kertas. Tak hanya itu, ia juga menggarap
tema Rumah Gadang. Hal itu ia lakukan
selama kurang lebih 6 bulan. “Menunggu
solusi, saya mencari dan meniru motif dari
kain ikat lama Tanah Liek di desa saya, motif
lama itu adalah kuda dan burung kolibri, saya
juga mengambil motif Minang dari ukiran dan
baju dan membuat motif baru dari motif
tersebut, yaitu sebagian kombinasi dari motif-
motif itu," katanya.
Pada saat ini, Dewan Kerajinan Nasional
Provinsi Sumbar menyelenggarakan satu ton
pelatihan membatik dengan peserta 20 orang,
10 orang dari Kabupaten Solok dan 10 orang
dari Kabupaten Pesisir Selatan. Kota Padang
tidak termasuk karena sebagian besar orang
Padang memiliki usaha bordir termasuk mereka sendiri yang memiliki toko bordir “Monalisa”. Meski tidak ada
peserta, Ibu Hj. Wirda Hanim ingin berpartisipasi. Akhirnya dia mendapatkan uangnya. Namun, pendidikan yang
diperoleh masih belum memuaskan. Setelah meminta izin suaminya Ruslan Majid pada 1995, ia pergi ke
Yogyakarta dan meminjam 20 juta rupiah sebagai modal belajar membatik di sana. Hanya 2 hari kemudian dia
kembali ke Padang. Tidak hanya merasa tidak enak, dia juga tidak bisa meninggalkan bengkel bordirnya, karena
ada 20 pekerja yang tinggal di rumahnya. Ibu Hj, Wirda Hanim, meminta Dewan Batik Yogyakarta untuk
mengirim guru tenun ke Padang, yang dia daftarkan untuk 3 bulan.
Namun sebelum itu, Ibu Hj. Wirda Hanim menitipkan sampel Batik Tanah Liek dengan harapan dapat dibuatkan
motif dan warna setelah pengambilan sampel. Setelah sampai di Padang, para guru dan pemuda yang didatangkan
dari Yogyakarta masih belum mampu membuat batik Tanah Liek sesuai contoh yang diberikan. Bahkan setelah
dua bulan bekerja bersamanya di Padang, belum ada kain yang bisa menandingi warna Batik Tanah Liek. Ini tidak
menyurutkan tekadnya, berkat pengeluarannya yang terus-menerus dalam jumlah besar untuk kain sutra, ramuan,
dan penjilidan. Tepat satu minggu sebelum berakhirnya kontrak magang di Yogyakarta, Ibu Hj. Wirda Hanim
ingat pernah belajar mewarnai dekorasi kue pada kursus kue pengantin dan ulang tahun di Jakarta. Dia
bereksperimen dengan pewarna kimia untuk batik. Bagaimana menemukan warna yang cocok dengan Batik Tanah
Liek dengan warna tanah.
Dari 10 helai kain per 2 meter panjangnya, hanya 2 helai
yang memiliki warna yang mirip dengan Batik Tanah
Liek. Namun, Ibu Hj. Wirda Hanim terus bereksperimen
dengan mempekerjakan pekerja yang berspesialisasi
dalam batik. Sejak itu, ia membuat batik tanah liat dengan
bahan kimia. Sedemikian rupa sehingga nama merek
produk yang dibuat oleh Batik Tanah Liek saat itu adalah
"Citra Monalisa". Meski begitu, tie dye vintage buatan
Tanah Liek cukup berbeda dengan dasi buatannya. Suatu
hari, dia pulang dan bertanya siapa ibunya. “Mengapa dasi
ini disebut Batik Tanah Liek?” Ibu menjawab bahwa
pewarna Tanah Liek pada dasarnya adalah pewarna tanah
dan polanya diwarnai dengan tumbuhan. Kemudian
dilanjutkan dengan pertanyaannya: “Tanaman apa yang
bisa dipetik?” lanjut ibu menjawab yaitu gambir, rambutan, pinang dan sebagainya. Berdasarkan informasi
tersebut, Ibu Hj. Wirda Hanim mencoba mencari tahu produksi dan daya tahannya.
Akhirnya setelah 10 tahun kerja keras, akhirnya ia memperoleh Batik Tanah Liek sesuai dengan pola yang ada,
dan mengajukan hak paten “Batik Tanah Liek”. Dia mengembalikan dana yang sebelumnya dipinjam dari
suaminya pada tahun 1997 berkat Hibah Pertamina, bantuan pinjaman pertama yang dia terima. Sampai saat ini
Ibu Hj. Wirda Hanim masih memelihara Batik Tanah Liek di kediaman dan showroomnya di Jalan Sawahan

