Page 4 - LITERASI BANUN
P. 4
untuk biaya keberangkatan anak-anak gadis mereka ke luar negeri,
untuk menjadi TKW, lalu menggadai, bahkan menjual lahan sawah.
Empat orang anak Banun telah disarjanakan dengan kucuran
peluhnya selama menjadi orang tani.
***
Sesungguhnya Banun tidak lupa pada orang yang pertama kali
menjulukinya Banun Kikir hingga nama buruk itu melekat sampai
umurnya hampir berkepala tujuh. Orang itu tidak lain adalah Palar,
laki-laki ahli waris tunggal kekayaan ibu-bapaknya. Namun, karena
tak terbiasa berkubang lumpur sawah, Palar tak pernah sanggup
menjalankan lelaku orang tani. Untuk sekebat sayur Kangkung pun,
Zubaidah (istri Palar), harus berbelanja ke pasar. Pekarangan
rumahnya gersang. Kolamnya kering. Bahkan sebatang pohon
Singkong pun menjadi tumbuhan langka. Selama masih tersedia di
pasar, kenapa harus ditanam? Begitu kira-kira prinsip hidup Palar.
Baginya, bercocok tanam aneka tumbuhan untuk kebutuhan makan
sehari-hari, hanya akan membuat pekerjaan di sawah jadi
terbengkalai. Lagi pula, bukankah ada tauke yang selalu berkenan
memberi pinjaman, selama orang tani masih mau menyemai benih?
Namun, tauke-tauke yang selalu bermurah-hati itu, bahkan
sebelum sawah digarap, akan mematok harga jual padi seenak
perutnya, dan para petani tidak berkutik dibuatnya. Perangai lintah
darat itu sudah merajalela, bahkan sejak Banun belum mahir
menyemai benih. Palar salah satu korbannya. Dua pertiga lahan
sawah yang diwarisinya telah berpindah tangan pada seorang tauke,
lantaran dari musim ke musim hasil panennya merosot. Palar juga
terpaksa melego beberapa petak sawah guna membiayai kuliah
Rustam, anak laki-laki satu-satunya, yang kelak bakal menyandang
gelar insinyur pertanian. Dalam belitan hutang yang entah kapan
bakal terlunasi, Palar mendatangi rumah Banun, hendak meminang
Rimah untuk Rustam.
”Karena kita sama-sama orang tani, bagaimana kalau Rimah kita
nikahkan dengan Rustam?” bujuk Palar masa itu.
”Pinanganmu terlambat. Rimah sudah punya calon suami,” balas
Banun dengan sorot mata sinis.