Page 5 - LITERASI BANUN
P. 5
”Keluargamu beruntung bila menerima Rustam. Ia akan menjadi
satu-satunya insinyur pertanian di kampung ini, dan hendak
menerapkan cara bertani zaman kini, hingga orang-orang tani tidak
lagi terpuruk dalam kesusahan,” ungkap Palar sebelum
meninggalkan rumah Banun.
”Maafkan saya, Palar.”
Rupanya penolakan Banun telah menyinggung perasaan Palar.
Lelaki itu merasa terhina. Mentang-mentang sudah kaya, Banun
mentah-mentah menolak pinangannya. Dan, yang lebih
menyakitkan, ini bukan penolakan yang pertama. Tiga bulan setelah
suami Banun meninggal, Palar menyampaikan niatnya hendak
mempersunting janda kembang itu. Tapi, Banun bertekad akan
membesarkan anak-anaknya tanpa suami baru. Itu sebabnya Palar
menggunakan segala siasat dan muslihat agar Banun
termaklumatkan sebagai perempuan paling kikir di kampung itu.
Palar hendak membuat Banun menanggung malu, bila perlu sampai
ajal datang menjemputnya.
***
Meski kini sudah zaman gas elpiji, Banun masih mengasapi dapur
dengan daun kelapa kering dan kayu bakar, hingga ia masih
menyandang julukan si Banun Kikir. ”Nasi tak terasa sebagai nasi
bila dimasak dengan elpiji,” kilah Banun saat menolak tawaran
Rimah yang hendak membelikannya kompor gas. Rimah sudah
hidup berkecukupan bersama suaminya yang bekerja sebagai guru
di ibu kota kabupaten. Begitu pula dengan Nami dan dua anak
Banun yang lain. Sejak menikah, mereka tinggal di rumah masing-
masing. Setiap Jumat, Banun datang berkunjung, menjenguk cucu,
secara bergiliran.
”Kalau Mak menerima pinangan Rustam, tentu julukan buruk itu
tak pernah ada,” sesal Rimah suatu hari.
”Masa itu kenapa Mak mengatakan bahwa aku sudah punya calon
suami, padahal belum, bukan?”
”Bukankah calon menantu Mak calon insinyur?”