Page 88 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 1 APRIL 2020
P. 88
memastikan upah serta THR mereka dibayar penuh.
"juga harus mendesak pemerintah untuk mengendalikan nilai tukar rupiah,
memudahkan impor bahan baku, bantuan dana untuk pekerja yang dirumahkan,
memberi insentif kepada industri terdampak corona, dan menurunkan hara BBM
serta gas untuk keperluan industri," ucap dia.
Iqbal juga mendesak untuk menghentikan pembahasan Omnibus Law yang tidak
pro rakyat. Dia juga menampik anggapan Omnibus Law bisa menyelamatkan
ekonomi Indonesia pascacorona seperti yang diklaim Nasdem.
"Omnibus law bukan solusi terhadap darurat PHK dan bukan solusi di saat
menurunnya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat pandemi corona. Karena
sudah jelas, omnibus law tidak dipersiapkan untuk mengantisipasi Covid-19," ucap
dia.
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI) Asfinawati menilai kalau RUU Omnibus Law memang sangat layak dicabut.
Menurutnya, masalah yang ada di RUU itu sudah terlihat sejak dalam proses hingga
substansi. RUU itu juga dinilai menabrak banyak undang-undang yang telah berlaku.
"Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti tindakan pemerintah yang menutup akses publik
terhadap draf saat proses perumusan.
Hanya segelintir elite yang mendapat akses terhadap draf RUU Cipta Kerja saat
dibahas di tingkat pemerintah," kata Asfi.
Dengan proses dan substansi yang kacau, Koalisi khawatir proses pembahasannya
akan merugikan banyak pihak.
Apalagi Jokowi menargetkan RUU itu beres dalam 100 hari. Bukan tidak mungkin
pengesahannya dipaksakan dan super kilat seperti revisi UU KPK minim transparansi
dan bermasalah.
"Dengan pendekatan kejar tayang dan serba terburu-buru sebagaimana
diperlihatkan dan Presiden, bukan tidak mungkin RUU Cipta Kerja bila diundangkan
menjadi sejarah sebagai UU yang efektivitasnya gagal," ujar Asfinawati.
Dalam masalah substansi, koalisi menyebut ada sejumlah masalah. Salah satunya
terkait aturan pengupahan yang merugikan buruh, kewenangan pemerintah
merevisi Undang-undang dengan Peraturan Pemerintah, dan penyederhanaan izin
lingkungan yang berpotensi memicu kerusakan alam.
"Alih-alih membenahi situasi hiperregulasi, justru RUU Cipta Kerja menambah lebih
banyak peraturan pelaksana untuk implementasinya, tanpa proses evaluasi dan
monitoring yang jelas," ujar Asfinawati.
Page 87 of 103.