Page 6 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 JUNI 2020
P. 6
ATURAN SHIFT JAM KERJA, EFEKTIFKAH?
Pemerintah mematangkan rencana pengaturan jam kerja bergantian (shift) bagi pegawai
negeri, BUMN, dan swasta demi mencegah penumpukan di transportasi massal dan kerumunan
di tempat rawan paparan Covid-19. Dua model jam kerja disiapkan, yakni pukul 07.30-15.00
dan 10.00-17.30.
Dengan masuk dan pulang kantor di jam yang tidak sama seluruh pekerja, kerumunan massa
diharapkan dapat diminimalisasi. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Kemenpan-RB), Kementerian BUMN, dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker)
telah satu suara terkait dua jam kerja dalam satu hari ini. Namun, sebelum kebijakan ini
diberlakukan, pemerintah akan menguatkan dengan simulasi dan survei lapangan terlebih
dahulu.
Apakah pola baru pengaturan jam kerja model shift ini akan bisa efektif? Pakar kebijakan publik
Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Asep Sumaryana mengatakan, jika pemerintah
hendak menerapkan pola jam kerja dua shift, khususnya untuk PNS, harus melihat jenis
pekerjaannya. Apakah pekerjaan PNS tersebut berhubungan dengan kebutuhan dasar
masyarakat atau tidak. "Kalau pekerjaannya berhubungan dengan kebutuhan dasar, berarti ada
kebutuhan dan keharusan bersentuhan dengan masyarakat yang dilayani. Harus ke kantor,"
ucapnya.
Menurut Asep, jika tujuan kebijakan itu untuk menghindari kerumunan, maka pelaksanaannya
bisa efektif karena membagi jam kerja akan mengurangi jumlah orang yang ada di satu kantor
atau ruangan. Namun, jika dilihat dari tujuan efisiensi, hal itu tergantung jenis pekerjaannya.
Dalam kondisi saat ini, kata Asep, pemerintah harus berhitung, apakah mempertimbangkan
aspek medis dengan aspek ekonomis atau efisiensi. "Karena kalau misalnya secara ekonomi
efisien, belum tentu secara medis aman," terang dosen di Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Sosial
(FISIP) Unpad ini.
Asep mengungkapkan, agar kebijakan ini efektif dan efisien, juga aman bagi pegawai,
pemerintah perlu menyediakan angkutan antar-jemput pegawai seperti yang dilakukan
perusahaan-perusahaan swasta atau pabrik.
"Tentu angkutan pegawai ini juga harus menerapkan protokol kesehatan ketat. Seperti, sebelum
naik ke dalam angkutan antar-jemput, pegawai harus dicek suhu tubuh, cuci tangan,
mengenakan masker, dan jaga jarak fisik," tegas Asep.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko
Setijowarno berpendapat, saat ini sumber permasalahan seperti ada penumpukan penumpang
bukan pada sistem transportasinya, melainkan pada bagaimana pengaturan kegiatan
manusianya. Untuk itu, dia mengapresiasi kebijakan dalam mengelola mobilitas masyarakat
misalnya dengan pengaturan pola kerja dari rumah (WFH) maupun di kantor. ''Pola ini (WFH
dan kerja di kantor) dapat dipadukan," katanya.
Djoko menyarankan, agar transportasi umum tidak menumpuk, perusahaan seperti BUMN atau
instansi pemerintah bisa memanfaatkan bus antar-jemput untuk pegawainya. "Ini bisa kerja
sama dengan perusahaan transportasi agar mereka juga tetap hidup bisnisnya," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani
mengatakan, disiplin penerapan protokol di perusahaan kemungkinan besar akan bervariasi dan
cenderung rendah bila perusahaan memiliki banyak pekerja dengan level edukasi rendah.
5