Page 308 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 APRIL 2021
P. 308
Padahal jika diteliti pemulihan ekonomi di tahun 2021 dianggap menunjukkan gejala baik. Geliat
ekonomi mulai bangkit. Selain itu, pemerintah pun mengklaim telah memberikan bantuan dan
banyak keringanan bagi perusahaan yang terdampak pandemi Covid-19.
Lantas mengapa tahun ini perusahaan kembali ingin menyicil THR? Berdasarkan laporan dari
Serikat Pekerja Nasional (SPN) setidaknya terdapat 13 perusahaan - mencakup lebih dari 1.400
pekerja- yang belum melunasi THR 2020 hingga sekarang. Sementara berdasarkan catatan
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), jumlah perusahaan yang belum melunasi THR
2020 lebih besar, yaitu sekitar 54 perusahaan. Sedangkan data Kementerian Ketenagakerjaan,
terdapat 103 perusahaan yang belum menyelesaikan kewajiban THR tahun lalu. (BBC.com,
12/4/2021) Pada hakikatnya wajar bila buruh/pekerja menuntut hak pemberian THR. Semua
beban kebutuhan hidup seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan mereka
tanggung sendiri. Bantuan sosial yang sedianya digunakan untuk mengurangi dampak
kemiskinan tidak terdistribusi secara maksimal. Harga bahan pokok naik tentu saja menambah
beratnya hidup di masa pandemi dalam pusaran sistem kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme, buruh ibarat tulang punggung sektor produksi. Kapitalisme
menganggap buruh adalah pekerja dan pengusaha adalah orang yang mempekerjakannya.
Status di antara keduanya secara otomatis menimbulkan adanya tingkatan kelas secara ke atas
dan ke bawah, atau yang biasa disebut dengan stratifikasi sosial.
Dasar yang memicu konflik buruh dan pengusaha sendiri disebabkan oleh kesalahan tolok ukur
yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost (biaya hidup) terendah. Living
cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh.
Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena
mereka hanya mendapatkan sesuatu yang minimum sekadar untuk mempertahankan hidup
mereka. Konsekuensinya, terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan
terhadap kaum buruh. Masalah buruh dengan pengusaha akan selalu ada selama persoalan
terkait akad ijarah dan hak buruh memperoleh kesejahteraan belum tuntas.
Dengan mengkaji hukum-hukum Islam secara mendalam, kita dapati Islam sebagai ideologi
(mabda) telah mengatasi berbagai persoalan yang muncul dalam ketenagakerjaan secara
fundamental dan komprehensif.
Persoalan ketenagakerjaan tidak mungkin dilepaskan dari kebijakan negara dalam bidang politik
ekonomi. Masalah ketenagakerjaan yang muncul akibat semata hubungan pengusaha dan
pekerja, terdapat hukum-hukum yang menyangkut ijaratul ajir.
Berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat, Islam mewajibkan negara menjalankan
kebijakan makro dengan menjalankan apa yang disebut dengan Politik Ekonomi Islam.
Politik ekonomi Islam diterapkan negara Islam melalui berbagai kebijakan yang menjamin
tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok tiap individu masyarakat secara keseluruhan,
disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai kemampuan yang dimiliki.
Ketika mensyariatkan hukum-hukum yang berkenaan tentang ekonomi kepada manusia, Allah
SWT telah mensyariatkan hukum-hukum tersebut untuk pribadi, masyarakat, dan negara.
Kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang-
barang tertentu berupa pangan, sandang, dan papan, serta kebutuhan terhadap jasa-jasa
tertentu berupa pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara
(muslim dan nonmuslim) secara menyeluruh, baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.
307