Page 284 - KLIPING KETENAGAKERJAAN 25 NOVEMBER 2021
P. 284
BURUH DIY GELAR MIMBAR BEBAS, MINTA KHL DIJADIKAN ACUAN UPAH 2022
JOGJA -- Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY gabungan sejumlah serikat buruh
mengadakan mimbar bebas pekerja di kawasan Titik Nol KM pada Rabu (24/11/2021).
Buruh menyerukan sejumlah tuntutan di antaranya penetapan upah minimum sektoral di DIY.
Menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota (UMK) berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak
(KHL) yang telah dilakukan pekerja.
Perwakilan MPBI DIY, Irsyad Ade Irawan mengatakan, penetapan upah minimum provinsi (UMP)
dan UMK untuk tahun 2022 tidak memberikan angin segar. Terutama bagi pemulihan ekonomi
pekerja/buruh.
Kondisi upah tetap murah meski menggunakan formula pengupahan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah (PP) 36/2021 yang merupakan turunan dari Undang-undang (UU) Ciptaker
11/2020.
Menurut dia, buruh masih mengalami defisit ekonomi jika penetapan upah mengacu pada
ketentuan yang telah ditetapkan. Yakni naik sebesar Rp75.915,53 atau 4,3% sehingga menjadi
Rp1.840.915,57. Hasil survei KHL pihaknya, buruh DIY masih mengalami defisit ekonomi antara
Rp800.000-Rp1 juta.
Berdasarkan survei KHL pekerja DIY per Oktober 2021, besaran angka KHL pekerja buruh pada
lima kabupaten/kota adalah sebesar Rp3.067.048 untuk Kota Jogja. Sleman Rp3.031.576; Bantul
sebesar Rp3.030.625; Kulon Progo Rp2.908.031; dan Gunung Kidul sebesar Rp2.758.281.
Sementara, ketetapan upah 2022 yang dikeluarkan Gubernur DIY untuk wilayah di atas masing-
masing sebesar Rp.2.153.970 (Kota Jogja); Rp2.001.000 (Sleman); Rp1.916.848 (Bantul);
Rp1.904.275 (Kulon Progo); dan Rp1.900.000 (Gunung Kidul).
"Dilihat dari upah yang ditetapkan untuk tahun 2022 dan memperhatikan kembali angka
kebutuhan hidup layak pekerja di lima kabupaten/kota di wilayah DIY, menunjukkan angka
defisit pendapatan yang cukup besar. Kenaikan upah lima persen yang ditetapkan Gubernur DIY
masih jauh dari harapan buruh," ungkapnya.
Irsyad berpendapat, kenaikan upah yang tidak signifikan mendongkrak kesejahteraan buruh ini
seharusnya dicarikan alternatifnya oleh pemerintah DIY. Terlebih, DIY punya Dana
Keistimewaan, seharusnya memiliki formula khusus dalam meningkatkan kesejahteraan buruh.
PP 36/2021 juga tidak layak dipatuhi sebagai penetapan upah buruh karena mengurangi peran
Dewan Pengupahan tingkat I, II dan III.
"Karena sekedar berdasarkan atas kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Sehingga aspirasi
pekerja buruh terancam kehilangan tempat," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Jogja, Krisnadi Setyawan mengungkapkan, keputusan
Gubernur DIY terkait dengan kenaikan UMP 2022 yang jauh dari KHL harus diikuti tanggung
jawab Pemda DIY maupun kabupaten/kota untuk mendata dan memfasilitasi pekerja penerima
upah minimum masuk dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
"Untuk memastikan pekerja tidak kehilangan haknya sebagai warga negara dan bukti pemerintah
hadir mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan," katanya.
Menurutnya, dalam Peraturan Menteri Sosial 3/2021 disebutkan bahwa orang tidak mampu
adalah orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah yang hanya mampu
memenuhi kebutuhan dasar yang layak.
283