Page 34 - E-modul berbasis flipbook "Peran Tokoh Ulama dalam Penyebaran Islam di Indonesia (Metode Dakwah Islam oleh Wali Songo di Tanah Jawa)"
P. 34
Dinamika perjalanan dakwah Sunan Gunung Jati, sekilas seperti tidak ada yang
berbau kekerasan dan pemaksaan. Kapasitasnya sebagai seorang ulama sekaligus
sebagai seorang raja, tentu saja seolah memainkan standar ganda.
Pada satu sisi, sebagai seorang ulama, segala tindak tanduk dan perkataannya
harus selalu menunjukkan keteladanan, namun sebagai seorang raja, sangat
mungkin ia bertidak secara politis yang semuanya disandarkan pada alasan untuk
penyebaran agama Islam, seperti contoh pemutusan penyetoran upeti kepada
kerajaan Pajajaran tersebut di atas. Dalam hal ini, sesungguhnya kebijakan-
kebijakan politik yang ditempuh oleh Sunan Gunung Jati sebagai raja, menggunakan
prinsip rahmatan lil ‘alamin untuk menuju negeri yang baldatun thayyibatun wa
Rabbun ghafuur.
Proses islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati berlangsung dalam waktu
yang sangat lama. Posisinya sebagai ulama menjadikan ia mendapat gelar waliyullah
dan kapasitasnya sebagai kepala negara ia pun memperoleh gelar Sayyidin
Panatagama yang dalam tradisi Jawa seorang raja adalah wakil Tuhan di dunia.
Adapun ragam metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dalam
proses Islamisasi tanah Jawa adalah sebagai berikut :
a) Metode muidlah hasanah/nasihat-nasihat yang baik
b) Metode al-hikmah/menggunakan cara-cara yang bijaksana
c) Metode tadarruj/berjenjang, tingkatan belajar seorang murid (pesantren)
d) Metode ta’awun yaitu saling tolong menolong dan berbagi ketugasan dalam
menyebarkan agama Islam di kalangan para wali
e) Metode musyawarah untuk membicarakan berbagai hal yang berkaitan dengan
tugas dan perjuangan dakwah para wali
f) Pembentukan kader dai.
Meskipun kasultanan Cirebon adalah kerajaan Islam, namun Sunan Gunung Jati
tidak serta merta hidup dalam kebudayaan yang Islami. Masih banyak corak
kebudayaan lain yang dipertahankan dan diserap untuk menunjukkan bahwa Islam
memiliki nilai toleransi yang tinggi terhadap kepercayaan lain. Hal tersebut terlihat
dari corak ornamen, arsitektur atau pun hiasan-hiasan yang masih memasang
sejumlah piring keramik sebagai hiasan dinding inding. Hiasan tersebut kemudian
menjadi bukti kedekatan antara Tiongkok dengan budaya Islam saat itu.
29