Page 6 - CITRA DIRI TOKOH PEREMPUAN DALAM TUJUH NOVEL TERBAIK ANGKATAN 2000
P. 6
PENDAHULUAN
Para pengarang tujuh karya novel Angkatan 2000 dalam upaya
merepresentas citra diri tokoh perempuan sangat berbeda dibandingkan angkatan-
angkatan sastra sebelumnya. Misalnya, novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah
Roesli atau novel Azab dan Sengsara (1920) karya Armijn Pane pada Angkatan
Balai Pustaka atau pada Angkatan Pujangga Baru dengan novel Layar Terkembang
(1932) karya Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu (1940) karya Armijn Pane.
Pada novel Siti Nurbaya tokoh Nurbaya dicitrakan sebagai perempuan yang patuh,
pasrah, dan tak berdaya dikala menghadapi aturan adat dan tradisi (Apriyanto,
2015). Meski demikian, kepatuhannya disebabkan oleh adanya budaya patriarki
yang sudah berlangsung turun temurun. Begitu pula novel Azab dan Sengsara yang
diwarnai persoalan perempuan dalam ketidakadilan gender dalam budaya patriarki.
Mariamin harus iklas menerima nasibnya yang tidak boleh menikah dengan lelaki
bernama Aminuddin karena perbedaan kelas sosial. Kemudian dinikahkan ibunya
kepada lelaki Kasibun yanh ternyata kasar dan kerapkali menyiksanya. Meskipun
di akhir kisah digambarkan bahwa Nurbaya dan Mariamin melakukan perlawan
atas penindasan kaum laki-laki pada diri mereka, toh mereka menemui ajal dalam
kondisi yang mengenaskan. Nurbaya mati diracuni Datuk Maringgi dan Mariamin
mati karena sakit-sakitan setelah penyiksaan berulangkali dari Kasibun.
Berbeda dengan citra diri tokoh perempuan pada karya-karya novel Ankatan
2000. Misalnya pada novel Tanah Tabu (2009), para perempuan bernama Mabel,
Mace, dan Leksi dicitrakan Anindita S. Thayf sebagai para perempuan tangguh,
dinamis, cerdas, berprinsip kuat, pantang menyerah, dan pemberani. Mereka
melawan diskriminasi perempuan yang berlaku secara turun temurun di tanah
leluhurnya, suku Dani di Papua. Meski demikian, novel ini tidak hanya mengangkat
tentang persoalan ketidakadilan gender, namun juga mengangkat persoalan lainnya
1